"Pemilu adalah implementasi demokrasi, tapi dalam teori demokrasi itu akan menimbulkan kekacauan kalau tidak ada nomokrasi. Karena apa? Karena demokrasi itu tujuannya mencari menang," kata Mahfud dalam sambutannya di Bawaslu Award di The Kasablanka Hall, Jakarta Selatan, Jumat (25/10/2019).
Secara sederhana nomokrasi dimaknai sebagai kedaulatan hukum atau hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 pun disebutkan bila Negara Indonesia adalah negara hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena ini soal kekuasaan maka berlaku dalil tidak ada kawan atau lawan yang abadi di politik. Yang kemarin musuh sekarang kawan, yang kemarin kawan menjadi lawan, politik itu memang begitu wataknya. Oleh karena itu demokrasi yang seperti itu kalau dibiarkan jelek. Maka kita tampilkan nomokrasi. Kalau demokrasi mencari menang, nomokrasi itu mencari benar. Itulah sebabnya," imbuh Mahfud.
Saat ini, lanjut Mahfud, instrumen hukum kelembagaan dalam pemilu terwakilkan pada Bawaslu. Pada zaman Orde Baru, Bawaslu disebut Mahfud tidak eksis.
"Pemilu zaman Orde Baru itu sepenuhnya dikuasai pemerintah, dilaksanakan oleh pemerintah, dan pemenangnya ditentukan oleh pemerintah. Pemilunya formalitas. Nggak ada survei. Tanpa survei sudah diputuskan bahwa pemilu sudah ditentukan bahwa Golkar sekian persen, PPP sekian persen, PDI sekian persen. Kalau itu ketahuan sebagai proses kecurangan dibilang itu bohong," kata Mahfud.
Titik baliknya disebut Mahfud pada tahun Pemilu 1999. Instrumen seperti Bawaslu sebagai bagian nomokrasi disebut Mahfud membuat pemilu semakin baik.
"Ada Bawaslu. itu instrumen yang secara nomokrasi disediakan. Kalau ada yang melanggar, awas di sini ada KPU, ada Bawaslu. Jangan main-main," kata Mahfud.
(dhn/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini