Ahli Hukum Ini Beberkan Alasan ASN Tidak Boleh Nyinyir ke Pemerintah

Ahli Hukum Ini Beberkan Alasan ASN Tidak Boleh Nyinyir ke Pemerintah

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 23 Okt 2019 07:47 WIB
Tedi Sudrajat (Foto: Istimewa)
Jakarta - Pemerintah telah melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) nyinyir ke pemerintah, termasuk dalam bentuk kritik di media sosial. Hal ini menuai pro-kontra karena dinilai membungkam kebebasan berpendapat warga negara yang dilindungi konstitusi. Tepatkah alasan itu?

"Dengan status kepegawaian yang melekat, setiap pegawai ASN, baik Pegawai Negeri Sipil maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) terikat dengan perjanjian antara pemerintah dan pegawai ASN yang disebut contract sui generis yang di dalamnya terkandung hubungan dinas publik (openbare diensbetrekking)," kata ahli hukum kepegawaian, Dr Tedi Sudrajat, saat berbincang dengan detikcom, Rabu (23/10/2019).


Artinya, pola hubungan ini menciptakan kedudukan yang subordinatif antara pemerintah dan pegawai ASN. Di mana pegawai ASN harus tunduk taat pada setiap pengaturan yang dibuat oleh pemerintah selaku atasannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Implikasi dari hubungan ini menciptakan pembatasan hak asasi bagi setiap pegawai ASN," cetus Tedi.

Menurut Tedi, kebebasan yang dibatasi di medsos bagi ASN bisa dilihat lewat 6 rambu-rambu. Pertama, menyampaikan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah. Kedua, menyampaikan pendapat lewat media sosial yang mengandung ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antargolongan.

"Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian di atas melalui media sosial, seperti share, broadcast, upload, retweet, repost Instagram dan sejenisnya," kata Tedi menegaskan.


Keempat, mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah. Kelima, mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, dan memprovokasi, serta membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

"Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana pada poin di atas dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di media sosial," cetus Tedi.

Lalu apa hukuman ke ASN yang melanggar rambu-rambu di atas?

"Dapat dilakukan penjatuhan hukuman disiplin terhadap pegawai ASN oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi. Hukuman disiplin ini diberikan dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak perbuatan yang dilakukan ASN tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, hukuman disiplin terdiri atas hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat," jelas tenaga ahli Komite 4 DPD itu.


Meski demikian, Tedi memahami kondisi di atas menimbulkan pro kontra dalam implementasinya. Karena di satu sisi aturan tersebut bisa menimbulkan chilling effect, yakni pegawai ASN takut untuk menyampaikan pendapat terhadap pemerintah, sedangkan kritik dalam konteks demokrasi sangat diperlukan.

"Namun, di sisi lain, pemerintah memerlukan profil pegawai ASN yang profesional dan loyal untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, sehingga membutuhkan situasi yang kondusif tanpa hiruk pikuk lontaran yang bernada sinis dan kritis terhadap pemerintah di media sosial," pungkas Tedi yang sehari-hari mengajar di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto itu.
Halaman 2 dari 2
(asp/aan)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads