Jakarta -
Djoko Saputro tidak terima dengan status tersangka yang disandangnya dari
KPK. Mantan Direktur Utama
Perum Jasa Tirta II itu pun mengajukan praperadilan meminta status tersangkanya dibatalkan.
"Kami menganggap bahwa penetapan tersangka Pak Djoko tidak sesuai prosedur dan salah secara hukum," ujar Hasbullah sebagai kuasa hukum Djoko di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2019).
"Karena perkara ini sebetulnya sudah ditangani Polres Purwakarta dan Kejagung tapi tanpa melalui mekanisme supervisi, KPK langsung mengambil alih," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persidangan perdana praperadilan ini digelar pada hari ini tetapi permohonannya dianggap dibacakan sehingga tidak didengarkan secara langsung dalam sidang. Dicek dari situs PN Jaksel, permohonan praperadilan itu diajukan Djoko lantaran merasa KPK tidak memiliki minimal 2 alat bukti yang sah untuk menetapkan dirinya sebagai tersangka.
"Menyatakan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/172/DIK.00/01/11/2018, tertanggal 28 November 2018 yang menetapkan pemohon Ir Djoko Saputro sebagai tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perum Jasa Tirta II tahun anggaran 2017 selaku Direktur Utama Perum Jasa Tirta II sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 KUHP," demikian dilansir dari situs PN Jaksel.
Djoko baru saja ditahan KPK atas status tersangkanya itu pada 30 September kemarin. Dalam kasus ini Djoko diduga
KPK meminta dilakukan relokasi anggaran dengan cara mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan pengembangan SDM dan Strategi Korporat yang awalnya Rp 2,8 miliar menjadi Rp 9,55 miliar.
Jumlah itu terdiri dari Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis senilai Rp 3,820 miliar serta Perencanaan Komprehensif Pengembangan SDM PJT II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan senilai Rp 5,730 miliar. Setelah itu, Djoko menunjuk Andririni Yaktiningsasi sebagai pelaksana kedua proyek tersebut.
Andririni pun menggunakan bendera perusahaan PT BMEC (Bandung Management Economic Center) dan PT 2001 Pangripta. Belakangan Andririni juga dijerat KPK sebagai tersangka.
Kembali pada persoalan. Meski rencana penambahan anggaran mencapai Rp 9,55 miliar, realisasi untuk kedua proyek itu adalah Rp 5,5 miliar. KPK menduga ada berbagai penyimpangan yang dilakukan Djoko dan Andririni, antara lain nama-nama ahli dalam kontrak proyek diduga hanya dipinjam dan dimasukkan sebagai formalitas.
Selain itu pelaksanaan lelang diduga direkayasa dan membuat penanggalan mundur dokumen administrasi atau backdate. KPK menyebut perbuatan keduanya diduga merugikan negara Rp 3,6 miliar.
"Diduga kerugian negara setidak-tidaknya Rp 3,6 miliar yang merupakan dugaan keuntungan yang diterima atau setidaknya lebih dari 66 persen pembayaran yang telah diterima," sebut Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Jumat (7/12/2018).
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini