"Saya yakin dengan UU Pemasyarakatan yang baru sebenarnya kami sangat berharap UU Pemasyarakatan kemarin bisa disahkan dilaksanakan. Kenapa? karena di dalam UU itu sebenarnya banyak hak warga binaan. Makanya ketika mereka demo di luar itu saya sedih juga belum tahu pasal pasal yang di dalam mereka sudah berbicara," kata Hendra dalam survei LSM Imparsial di Hotel Novotel, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (10/10/2019).
"Harusnya coba dirasakan dulu satu hari di Nusakambangan atau sehari saja deh di lapas. Saya undang mahasiswa ayo sekolah dulu satu hari tidur di sana. Rasakan satu kamar harusnya 5 orang diisi puluhan sampai ratusan. itu kita ada blok-blok ya. Satu sayap itu diisi 180 dijaga 1 orang. Bayangkan bagaimana kita sebagai petugas pemasyarakatan satu orang ngawalnya 180 orang. Ketika terjadi keos saja, goodbye selamat. Berapa petugas kami yang mati di medan," sambung Hendra.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hendra menyesalkan dengan pemahaman masyarakat yang menolak RUU Pemasyarakatan. Seperti menolak remisi dengan berbagai dalih. Padahal, remisi adalah warisan sistem Ratu Belanda pada tahun 1824. Oleh sebab itu, RUU Pemasyarakatan menata ulang remisi yang berlaku.
"Justru dengan adanya yang baru ini justru sudah tertata lagi loh. Jadi pemberian remisi ini ada remisi kita ada standarnya kalau dulu kan kita ngga ada standarnya. Suka suka saja kalapasnya kalau berkelakuan baik-baik. Standarnya nggak ada," cetus Hendra.
Permasalahan lapas diminta dinilai secara menyeluruh. Seperti persoalan kunjungan suami menjenguk istri yang sedang dipidana atau sebaliknya. Belum lagi soal makan narapidana yang jauh dari standar.
"Di dalam UU Pemasyarakatan hanya Rp 18 ribu untuk tiga kali makan. Itu belum potong pajak PPN. Paling Rp 16 ribu dibagi 3 kali makan. Bapak bisa bayangkan layaknya nggak makan seperti itu?" pungkas Hendra.
Tonton juga video Tuntut Usut Kasus Randi-Yusuf, Mahasiswa 'Berkemah' di Polda Sultra:
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini