Ismail awalnya menjelaskan soal buzzer yang dipelihara. Dia menyebut buzzer negara memelihara buzzer semenjak tahun 2014.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akibatnya apa? Karena tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah, dan pemerintah juga mendengar. Jadi buzzer membereskan aja, ketika ada ini, diberesin ini. Ketika ada sesuatu yang bikin ramai, ditangkal isu lain. Kemudian ada satu isu yang pemerintah mau angkat, dia bikin kampanye luar biasa, yang menghalangi langsung dihajar oleh buzzer itu," imbuhnya.
Menurut Ismail, buzzer di media sosial membuat pemerintah tidak bisa mengetahui aspirasi apa yang disampaikan masyarakat melalui media sosial. Dia menilai pemerintah seharusnya membuat sistem yang bisa menampung kritikan masyarakat di media sosial.
"Seharusnya tidak ada buzzer di Istana, tidak ada buzzer di oposisi, yang ada adalah rakyat, yang ada adalah publik yang menyampaikan suara di media sosial, menyampaikan kritikan. Kemudian pemerintah mendengarkan big data, mendengarkan sinyal itu," ucapnya.
Dia menuturkan bahwa media sosial seharusnya bisa membuat masyarakat Indonesia lebih cerdas. Hal itu, Ismail mengatakan akan bisa terwujud jika pemerintah mengelola dengan baik media sosial.
"Ya betul, media sosial bisa menjadikan lebih cerdas sebetulnya. Cuma dengan adanya buzzer pemerintah jadi tidak bisa mendengarkan, tidak ada sinyal yang terdengar," sebut Ismail.
Apa yang disampaikan Ismail tersebut merupakan tanggapan terhadap pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Diberitakan sebelumnya, Moeldoko menilai para buzzer perlu ditertibkan.
"Saya pikir memang perlu (ditertibkan). Kan ini kan yang mainnya dulu relawan, sekarang juga pendukung fanatik," ucap Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (3/10).
Halaman 3 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini