"Dia (Jokowi) tanda tangan dulu RUU-unya, diundangkan, terbitkan perppu pembatalan, selesai. dan nggak usah mikir, perppu-nya kan cuma satu pasal mencabut undang-undang (KPK yang baru) itu," kata Refly Harun di Trans TV, Jalan Kapteen Tendean, Jakarta Selatan, Selasa (1/10/2019).
Refly berpendapat gelombang demonstran saat ini tak lagi menyasar pada RUU, tetapi meluas ke diri Jokowi. Dalam beberapa aksi, pendemo meneriakan agar pelantikan Jokowi sebagai presiden dibatalkan serta seruan melengserkan Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski penerbitan perppu bertujuan membatalkan undang-undang yang baru saja disahkan jarang sekali terjadi, namun Refly menegaskan hal tersebut konstitusional serta legal. Dan situasi saat ini, lanjut Refly, sudah tak kondusif lagi.
"Keluarnya peprpu itu tergantung subjektivitas Presiden. Jadi objektivitasnya gini, ada keadaan genting dan sesuatu yang harus di atur , tapi undang-undang yang ada tidak cukup mengatur atau tidak ada. Bagaimana menafsirkan kondisi genting itu? Ya Mahkamah Konstitusi mengatakan itu subjektivitas Presiden, nanti objektifikasinya di DPR," jelas Refly.
Terkait pelemahan KPK, Refly memberi contoh satu pasal yang dia soroti yaitu Pasal 12b. "Dikatakan bahwa untuk penyadapan, harus izin Dewan Pengawas," ujar Refly.
Refly membayangkan, proses pemintaan izin sadap maksimal memakan waktu 1 x 24 jam. Pada pasal tersebut juga dijelaskan izin sadap dapat diberikan jika penyidik telah menggelar perkara dihadapan Dewan Pengawas.
"Di penjelasan pasal itu ternyata ada colongannya, izin penyadapan diberikan setelah gelar perkara di hadapan Dewan Pengawas. Kalau kita misalnya mau OTT dari laporan masyarakat, dan kasusnya ini belum ada sebelumnya tapi informasinya A1 (pasti), untuk memastikan di-OTT atau tidak kan harus disadap," jelas Refly.
"Begitu minta izin ke Dewan Pengawas, ditanya sudah gelar perkara belum? Lah bagaimana mau gelar perkara, orang barangnya saja belum dapat. Hasil sadapan itu justru adalah salah satu alat bukti. Untuk gelar perkara kan harus dapat dua alat bukti, bahkan kpk 3," sambung dia.
Refly menyampaikan Pasal 12b diduga sengaja dibuat dengan tujuan melumpuhkan kegiatan OTT KPK. Refly mengaku khawatir Jokowi tak memperhatikan hal ini dan hanya mendapat laporan-laporan negatif mengenai penyalahgunaan wewenang oleh KPK.
"Elite-elite politik ini kan paling takut di OTT. Karena dari ratusan OTT, tidak ada satupun yang lolos, semuanya divonis bersalah. Itu yang ditakutkan koruptor. Karena itulah dicari cara untuk melumpuhkan OTT, rupanya dengan cara pasal colongan, pakai Dewan Pengawas dan tahapan gelar perkara," ungkap Refly.
"Saya khawatir Jokowi tidak aware dengan hal ini. Dia hanya dilaporkan hal-hal terkait KPK sering menyalahgunakan kekuasaan, dan lain-lain, padahal hidden agendanya adalah ada kekuatan-kekuatan politik yang ketakutan sm OTT KPK," tandas Refly.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini