KUHP yang berlaku saat ini adalah KUHP penjajah Belanda. KUHP ini mulai berlaku efektif di Indonesia pada 1 Januari 1918. Saat itu, Indonesia yang masih bernama Hindia-Belanda, masih menjadi negara koloni jajahan Belanda.
Setelah merdeka, semangat mengganti hukum penjajah terus berkobar. Pertama kali rencana mengganti KUHP Belanda pada tahun 1963. Selama itu, sedikitnya 17 anggota Tim RUU KUHP telah tutup usia.
Tahun 1993 akhirnya terwujud RUU KUHP yang dibuat para begawan hukum dan kemudian mulai disempurnakan oleh para Menteri Kehakiman setelahnya. Hingga akhirnya terwujudlah RUU KUHP versi 15 September 2019. Versi ini disahkan dalam Rapat Tahap I DPR dan rencananya disahkan DPR pada 24 September 2019.
Di menit-menit terakhir, mahasiswa melakukan demonstrasi menolaknya. Salah satu alasan yang beredar di publik bila RUU KUHP akan memidanakan wanita yang pulang malam.
Dalam 628 Pasal RUU KUHP, ternyata tidak ada larangan bagi wanita yang pulang malam. Dalam viral yang beredar, merujuk pasal 431 yaitu Penggelandangan. Selengkapnya berbunyi:
Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Dari definisi di atas, maka 'wanita pulang malam' tidak termasuk definisi 'penggelandangan'.
Selidik punya selidik, pasal Penggelandangan juga masih berlaku di KUHP yang berlaku saat ini. Bahkan hukumannya maksimal 3 bulan penjara. Pasal tersebut pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan ditolak. MK menilai 'penggelandangan' merupakan tindak pidana.
"Yang dilarang oleh Pasal 505 KUHP adalah hidup bergelandangan, karena bergelandangan merupakan suatu perbuatan yang melanggar ketertiban umum sebagaimana diuraikan di atas, sehingga Indonesia sebagai suatu negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, memang sudah sepatutnya mengatur pembatasan yang demikian itu karena bergelandangan akan menimbulkan rasa was-was dan tidak aman bagi masyarakat yang lebih luas, terlepas dari di dalam hidup bergelandangan tersebut disertai dengan adanya tindak pidana yang lain ataupun tidak," ujar MK.
MK juga membedakan antara 'penggelandangan' dengan fakir miskin. Sebagai negara hukum, negara harus membangun sistem hukum, yang harus dipatuhi oleh masyarakat, dan ditegakkan oleh aparat hukum.
"Manakala negara dengan kemampuan yang ada belum sepenuhnya dapat melaksanakan kewajiban tersebut, tidak dapat menjadi alasan untuk membolehkan warga negara hidup bergelandangan. Dengan demikian, hal tersebut tidak menjadi alasan pembenar bagi siapa pun untuk melanggar hukum, melakukan penggelandangan, mengabaikan ketertiban umum, dengan alasan negara belum melaksanakan kewajibannya memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar," pungkas MK.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini