Jakarta - Managing Director PT Rohde dan Schwarz Indonesia, Erwin Sya'af Arief dituntut 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Erwin diyakini jaksa bersalah menyuap
Fayakhun Andriadi saat menjabat anggota DPR.
"Menuntut supaya majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini, menyatakan terdakwa Erwin Sya'af Arief terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa KPK M Takdir saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erwin diyakini bersalah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa menyebut Erwin memberi suap sebesar USD 911.480 atau Rp 12 miliar lebih ke Fayakhun. Menurut jaksa, Erwin memberi suap agar Fayakhun menambahkan anggaran proyek Bakamla pada APBN-P Tahun 2016.
Perbuatan Erwin Arief dilakukan bersama-sama dengan Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah. Diketahui Fahmi sudah divonis 3,5 tahun penjara dalam perkara tersebut.
Uang suap tersebut berasal dari PT Merial Esa yang ikut tender proyek Bakamla yaitu satelit monitoring dan drone. Erwin Arief disebut jaksa saling kenal dengan Fayakhun dan menawarkan karier politik di partai Golkar.
Selain itu, Erwin Arief dan Fahmi Darmawansyah juga saling kenal karena sering bekerja sama dengan PT Merial Esa dalam pengadaan jasa atau barang di sejumlah lembaga pemerintah. Fahmi pun melakukan pertemuan dengan Erwin Arief adanya proyek tersebut.
Setelah itu, jaksa mengatakan Erwin Arief meminta Fayakhun agar proyek itu dapat dianggarkan dalam APBN-P tahun 2016 karena mempergunakan barang dan produk PT Rohde dan Schwarz Indonesia. Fayakhun juga dijanjikan fee untuk mengurus anggaran itu.
Fayakhun pun disebut jaksa selalu berkomunikasi dengan Fahmi melalui Erwin Arief dan pegawai PT Merial Esa M Adami Okta. Pesan komunikasi yang diterima Erwin Arief diteruskan ke Adami dan dilanjutkan ke Fahmi.
Dalam komunikasi tersebut, jaksa menyebut Komisi I DPR mengusulkan tambahan anggaran dalam APBN-P sebesar Rp 3 triliun dan proyek satelit dan drone senilai Rp 850 miliar. Fayakhun berjanji akan 'mengawal' anggaran itu dengan syarat mendapatkan commitment fee dari Fahmi sebesar 7%.
"Terdakwa (Erwin Arief) meneruskan pesan dari Fayakhun Andriadi kepada Fahmi Darmawansyah melalui M Adami Okta yang pada intinya Fayakhun Andriadi meminta tambahan komitmen fee sebesar 1% untuk dirinya sendiri dari nilai
fee yang dijanjikan sebelumnya 6%, sehingga total fee yang harus disiapkan Fahmi Darmawansyah sebesar 7% dari nilai proyek," papar jaksa.
Atas pemintaan itu, jaksa mengatakan Fayakhun meminta agar commitment fee diberikan secara bertahap ke rekening money changer dan bank di Hong Kong, China, dan Singapura. Setelah diterima, Fayakhun memerintahkan anak buahnya bernama Agus Gunawan untuk mengambil uang tersebut digunakan kepentingan politiknya.
Untuk proyek itu, jaksa menyebut PT Merial Esa memesan produk satelit monitoring PT Rohde dan Schwarz dengan nilai kontrak EUR 11.250.000, padahal harganya barang EUR 8.000.000. Dari nilai barang itu ada selisih yang dinikmati Erwin Arief sebesar EUR 35.000 dan M Adami Okta memperoleh EUR 115.000.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini