Dikutip detikcom dari draf RUU KUHP, Jumat (20/9/2019), ada paragraf 'Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana'.
Pasal 260
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Menkum HAM Jelaskan Pasal Santet di RUU KUHP |
(2) Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per Βtiga).
Hukuman penjara menanti orang-orang yang mengaku punya kekuatan gaib dan menawarkan jasa santet. Kalau kegiatan itu dilakukan untuk cari untung, hukumannya bisa ditambah.
RUU KUHP memuat penjelasan terkait hal ini. Dalam bagian penjelasan, ada istilah 'ilmu hitam' atau 'black magic'. Menurut penjelasan draf ini, praktik ilmu hitam bikin resah.
"Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya," demikian bunyi penjelasan RUU KUHP yang dikutip detikcom, Minggu (1/9/2019).
Bagaimana pembuktiannya? Tak ada hal gaib yang perlu dibuktikan di sini. Prof Dr Ronny Nitibaskara menjelaskan pidana yang diatur di 'pasal santet' ini adalah pidana formil yang tak mementingkan sebab akibat. Yang dibutuhkan hanyalah pengakuan dari pelaku. Itu sudah dijelaskannya sejak 2013 silam, saat isu pasal santet itu mengemuka di Komisi III DPR.
Pada 2015, Jaksa Agung Prasetyo bahkan mendukung pasal santet itu. Tujuannya supaya tak ada lagi keresahan masyarakat akibat isu dukun santet. Praktik main hakim sendiri diharapkannya bisa dicegah lewat pasal santet.
"Dari uraian tersebut kami berpendapat untuk tetap mempertahankan pasal tersebut, mengingat praktek perdukunan seringkali menimbulkan keresahan masyarakat," kata Prasetyo pada 2015.
KUHP yang dipakai saat ini dibuat pada 1830 di Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial memberlakukan secara nasional pada 1918 hingga saat ini. KUHP yang mempunyai nama asli Wet Wetboek van Strafrecht itu tidak mengenal Pasal Santet. Apakah penundaan pengesahan RUU KUHP itu akan mengeliminasi pasal santet atau mempertahankannya? (dnu/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini