Hal itu dipaparkan oleh perwakilan Walhi Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Tegal Parang, Mampang, Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2019). Mereka memaparkan sejumlah proyek yang berpotensi menimbulkan bencana, dari banjir, longsor, hingga gelombang pasang.
"Kami mencatat ada tujuh jenis ancaman bencana di pesisir selatan Jawa Timur, seperti gempa, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Keberadaan konsesi tambang yang membongkar kawasan hutan perbukitan dan pesisir menggandakan angka kerawanan bencana di wilayah ini," ujar Direktur Walhi Jatim, Rere Christianto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia juga mencatat ada 10 desa yang terancam terkena bencana karena banyaknya proyek tambang yang harus menggusur kawasan hutan lindung. Sepuluh desa ini berada di daerah Lumajang.
"Catatan Walhi di Jawa Timur, taman pasir besi di Lumajang mengancam (bencana) di 10 desa dengan jumlah 59.902 jiwa. Selain tambang besi, ada tambang emas, tambang tembaga, kemudian proyek jalan lintas pantai selatan yang menggusur kawasan hutan lindung, dan juga kawasan produktif masyarakat," ujar Rere.
Sementara itu, Direktur Walhi Yogyakarta Halik Sandera menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait tidak akan ada pembangunan kawasan bencana sekadar ucapan. Buktinya, Halik menyebut proyek pembangunan yang berpotensi timbulkan bencana di Yogyakarta saat ini masih ada.
"Bagi kami sampai saat ini, bahwa statement Pak Jokowi dalam rapat yang menyatakan tidak boleh ada pembangunan kawasan bencana, tapi faktanya statement itu nggak dihentikan dalam kasus ini. Misalnya di Yogya, ada pembangunan Bandara di Kulon Progo, kenapa? Karena titik lokasi bandara persis berada di pesisir selatan, artinya kerawanannya dalam kawasan peta bencananya sangat tinggi," jelas Halik.
Halik mengatakan salah satu proyek pemerintah yang berpotensi menimbulkan bencana longsor itu adalah proyek 'bedah menoreh'. Proyek ini nantinya menghubungkan Yogyakarta dengan Magelang.
"Di Kulon Progo ini memicu kerawanan dan kerusakan eksploitasi di wilayah lain, misalnya Borobudur dekat dengan Jogja, saat ini ada proyek bedah menoreh, artinya perbukitan yang hubungkan Yogya dan Magelang. Saat ini ada proyek itu, padahal status itu cara kebencanaan dia menjadi tingkat longsor," imbuhnya.
Selain itu, pembangunan Bendungan Bener di Purworejo, kata Halik, berada di tempat yang salah. Sebab, proyek itu berada di patahan aktif yang bisa berpotensi mengakibatkan banjir.
"Proyek ini ada di patahan aktif di daratan, artinya ada potensi kegagalan teknologi, misalnya potensi gempa bendungannya retak itu akan jadi banjir bandang," katanya.
Hal senada dikatakan Direktur Walhi Jawa Tengah Ismail. Dia mengatakan sejumlah daerah di Jateng terindikasi rentan bencana karena proyek pertambangan di sejumlah titik. Dia mencontohkan proyek PLTU di Cilacap.
"Di Cilacap sendiri pengembangan sekarang ini PLTU-nya dulu ada 300x2, kemudian 600 sekarang ini sudah mulai operasi lagi, yang sudah diresmikan 1x1.000 ini posisinya persis di bibir pantai. Sehingga ancaman tsunami terjadi. Ini potensi risiko yang sangat besar karena dengan kapasitas yang begitu besar PLTU di Cilacap, ini dia jadi menyuplai energi untuk Jawa dan Bali," katanya.
Direktur Walhi Jabar Meiki Paendong mengatakan hal yang sama terjadi di Jawa Barat. Banyak proyek pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana. Dia menyoroti kebijakan Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang akan membangun kawasan ekonomi khusus di Sukabumi dan Pangandaran. Menurutnya, pembangunan itu masih perlu dikaji lagi.
"Gubernur Jabar akan ajukan ekonomi khusus di kawasan Jabar, satu di Sukabumi dan Pangandaran, hal ini kami kritisi bahwasanya pengembangan pesisir selatan tanpa mengkaji atau perhatikan kerentanan dua kabupaten tersebut juga akan berakibat fatal, jadi terkesan bila aspek kerentanan bencana tidak dikerjakan tuntas," kata Meiki.
Terakhir, Direktur Walhi Jakarta Tubagus Soleh mengatakan pemerintah seharusnya memperhatikan kebijakan pembangunan. Dia meminta pemerintah lebih peka terhadap potensi bencana di setiap daerah.
"Saya ingin sampaikan, bahwa apa yang terjadi di Jawa, termasuk selatan Jawa, adalah disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dalam tanda kutip memanen bencana, sementara kebijakan yang berperan sebagai pengaman, itu sangat lemah sekali," tuturnya. (zap/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini