Ketua DPD Partai Golkar Melki Laka Lena mengatakan sinergi bersama untuk mencegah adanya politisi dalam penegakan hukum perlu terus dikembangkan. Menurutnya, politik dan hukum selalu bertalian dan berhubungan erat serta sukar dipisahkan.
Menurut Melki, semangat pemberantasan korupsi yang melahirkan KPK dipastikan tidak melumpuhkan penegak hukum lain. Berbagai lembaga negara lainnya harus bersinergi dan tidak saling menyerang. Termasuk dalam pembahasan revisi RUU KPK dan pemilihan komisioner KPK periode mendatang.
"Perjalanan 17 tahun pemberantasan korupsi yang dipimpin oleh KPK saat ini tengah dibahas untuk dievaluasi DPR RI melalui revisi UU KPK. Presiden Jokowi telah memberikan persetujuan dan menugaskan Menkum HAM dan Menpan untuk membahas hal tersebut bersama DPR RI," kata Melki dalam keterangan tertulis, Jumat (13/9/2019).
Bagi Melki, pro dan kontra perihal reputasi dan kredibilitas anggota tim pansel KPK adalah hal wajar. Apalagi mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Bagi pihak yang keinginannya tidak bisa terpenuhi tentu akan menyisakan kekecewaan. Seperti diketahui, kini pemerintah melalui pansel KPK telah memutuskan 10 anak bangsa terbaik untuk diseleksi oleh DPR RI guna menjadi lima komisioner KPK yang baru. Melki menyadari jika dalam proses uji kelayakan di pansel yang kemudian berlanjut di DPR RI wajar jika menimbulkan pro-kontra di berbagai kalangan.
"Pro-kontra semacam ini terjadi di semua kalangan yang paling mengkhawatirkan terjadi juga di KPK," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Alex, lanjut Melki, walau sebagai kompetitor komisioner KPK justru berbeda pendapat tentang hal itu. Menurut Melki, kasus Firli ini menjadi contoh nyata urgensi KPK agar perlu dibenahi untuk kembali menjadi motor pemberantasan korupsi yang solid dan efektif.
Saat ini, KPK tiba-tiba secara kebetulan memanggil petinggi parpol atau jaringannya untuk diperiksa. Misalnya dari PAN, Golkar, dan PKB yang kembali diusut kasusnya.
Melki mengatakan petinggi parpol dan jaringannya yang dipanggil KPK saat ini bukan kebetulan semata. Melki menilai pemanggilan itu ada hubungannya dengan revisi RUU KPK dan pemilihan komisioner KPK. Hal itu dianggap sebagai manuver yang mudah dibaca dan dianggap bagian dari penggunaan kewenangan KPK untuk mempengaruhi agenda di Senayan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
"Pengamat dan rakyat kebanyakan dengan mudah memberi penilaian semacam ini sehingga makin menguatkan stigma bahwa KPK sedang melakukan politisasi penegakan hukum," tutur Melki.
Melki berpendapat, KPK sebagai bagian dari sistem hukum dan sistem pemerintahan di Indonesia seharusnya menyatu. Bahkan tidak boleh terpisah dengan institusi hukum atau lembaga negara lainnya.
Melki menambahkan, revisi UU KPK dan pemilihan komisioner KPK yang melibatkan pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil melalui tim pansel mestinya membuat semua komponen bangsa harus bersikap dewasa.
Melki berharap kepada semua pihak untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik, tidak saling sandera, dan duduk bersama musyawarah mufakat mencari solusi terbaik. Mereka diharapkan tidak saling menyerang dan berprasangka.
"Kalau masing-masing pihak unjuk kekuatan yang dikorbankan masa depan dan nasib rakyat Indonesia, Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum bias menjadi korban," ucap Melki.
Melki berharap pembahasan revisi RUU KPK dan pemilihan komisioner KPK dalam waktu tersisa harus berlangsung terbuka dan akuntabel oleh DPR RI dan pemerintah.
"Masukan kritis apa pun dari masyarakat sipil, termasuk KPK, wajib didengar untuk diakomodasi oleh DPR dan pemerintah. Masyarakat sipil dan KPK tak perlu berprasangka negatif dan membiarkan DPR dan pemerintah berjalan sendiri dalam membuat keputusan terkait dua isu penting pemberantasan korupsi," tuturnya.
Soal Revisi UU KPK, Pergubi: Kami Tak Rela Negara Terpuruk