Alexander kembali lolos sebagai pimpinan KPK setelah mengantongi 53 suara dalam voting yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (13/9) kemarin. Alexander lahir di Klaten, Jawa Tengah, 26 Februari 1967.
Alexander menempuh pendidikan di SD Plawikan I Klaten, SMP Pangudi Luhur Klaten, SMAN 1 Yogyakarta. Kemudian, dia melanjutkan pendidikan tinggi D4 Jurusan Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan S1 Ilmu Hukum di Universitas Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alexander menghabiskan sebagian besar kariernya di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sejak 1987 hingga 2011. Pada 2010, dia menjadi Kepala Divisi Yankum dan HAM Kantor Wilayah Hukum dan HAM Yogyakarta.
Selanjutnya, pada 2012, ia menjabat Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM di Kantor Wilayah Hukum dan HAM Sumatera Barat sekaligus Direktur Penguatan HAM di Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM. Pada tahun yang sama, Alexander mulai menjadi hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi Tipikor Jakarta dan hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dia terakhir melaporkan harta kekayaannya pada 27 Februari 2019. Total harta Alexander berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)-nya berjumlah Rp 3.968.145.287.
Alexander merupakan pimpinan KPK petahana pertama yang terpilih lagi dalam proses voting di DPR untuk masa jabatan periode berikutnya. Sejak KPK berdiri, belum pernah ada pimpinan KPK petahana yang terpilih dua kali.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test oleh Komisi III DPR pada Kamis (13/9) kemarin, Alexander menjadi capim KPK terlama yang diuji. Fit and proper test Alexander menghabiskan kurang-lebih 4 jam dengan 2 jam lebih untuk mengklarifikasi terkait konferensi pers yang dilakukan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Penasihat KPK Tsani Annafari soal dugaan pelanggaran etik Irjen Firli Bahuri pada Rabu, 11 September 2019.
Adalah anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu hingga anggota Komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani yang mempertanyakan perihal konferensi pers tersebut. Masinton menanyakan apakah Alexander mengetahui perihal konferensi pers tersebut. Pertanyaan itu pun berbuntut panjang, Alexander kemudian dicecar dengan berbagai pertanyaan terkait konferensi pers.
"(Bapak) sebagai calon komisioner dan incumbent, pertama, saya ingin menanyakan kemarin itu ada konferensi pers, karena ini menyangkut nasib orang, menyangkut karir seseorang. Sebagai calon komisioner dan juga orang yang masih menjabat di KPK. Mudah-mudahan KPK itu masih Komisi Pemberantasan Korupsi ya, Pak, bukan Komisi Penghambat Karir. Apa sudah? Masih ya, Pak? Saya akan tanyakan mudah-mudahan ini bukan menjadi Komisi Penghambat Karir. Kemarin disampaikan ada pelanggaran etik. Sebagai incumbent dan calon komisioner, apa yang Saudara ketahui tentang itu. Agar itu clear semua. Apakah KPK dalam keputusannya boleh sendiri-sendiri atau keputusannya itu berdasarkan kolektif kolegial pimpinan?" tanya Masinton dalam fit and proper test.
Alexander dalam kesempatan itu juga dimintai klarifikasinya terkait voting penetapan tersangka yang dilakukan pimpinan KPK, termasuk dirinya. Para anggota Dewan menanyakan kebenaran terkait voting pimpinan KPK saat menetapkan tersangka.
Tak hanya itu, sejumlah anggota Dewan juga memberi catatan khusus pada makalah Alexander pada pencalonannya pada 2015. Catatan itu diberikan oleh Masinton dan anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra, Muhammad Syafii atau Romo Syafii. Mereka menilai Alexander gagal menerapkan apa yang disampaikannya dalam makalah tersebut saat menjabat sebagai pimpinan KPK.
"Pendapat sebagai calon ketika DPR itu melakukan tugas pengawasan melalui hak angket dengan penyelidikan. Kemarin kan menolak nggak datang tuh, dengan alasan bla bla bla. Sementara paper Saudara di 2015 tuh masih saya simpan, pentingnya koordinasi supervisi, pentingnya koordinasi antarlembaga. Kenapa itu tidak diterapkan kemarin ketika Saudara menjadi pimpinan," kata Masinton.
"Saya juga membaca makalah 4 tahun lalu. Yang benar-benar memberikan gambaran kesadaran hukum KPK, yakni menjadi trigger mechanism untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi. Tapi barusan Bapak juga mengatakan komunikasi dalam mengefektifkan relasi kepada aparat penegak hukum yang lain belum maksimal. Itu kan sebuah gambaran telanjang Bapak belum berusaha keras untuk merealisasikan janji 4 tahun lalu. Saya tentu saja bertanya-tanya karena Pansel memberikan keyakinan kepada kami, Bapak ini terbaik dari lima komisioner yang kemarin maju lagi," tanya Romo Syafii.
Klarifikasi Alexander
Terkait konferensi pers soal dugaan pelanggaran berat Firli, dia mengaku tak tahu-menahu. Alexander mengaku baru mengetahui informasi tersebut dari pesan elektronik yang dikirimkan Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan kepada dirinya.
"Kami sudah menduga kejadian kemarin sore pasti akan banyak yang menanyakan. Apakah itu sikap lembaga? Terus terang, saya mendapat info ada press conference itu dari Bu Basaria (Basaria Pandjaitan). Saya di WA lewat berita yang ada di detik terkait pengumuman pelanggaran etik mantan deputi KPK Pak Firli," kata Alexander dalam fit and proper test capim KPK di Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Dia pun menjelaskan soal status Firli saat itu. Dia menegaskan sebelumnya tidak ada keputusan bahwa Firli dinyatakan melanggar kode etik berat terkait pertemuannya dengan Gubernur NTB TGH Zainul Majdi atau dikenal sebagai Tuan Guru Bajang (TGB), Wakil Ketua BPK Bahrullah, dan dengan ketua umum salah satu partai politik (parpol).
Tiga dari lima pimpinan KPK juga meminta perkara Firli dihentikan. Sebab, kala itu, pimpinan KPK telah memberhentikan Firli dengan hormat saat mengembalikannya ke Polri.
"Pak Firli kan dikembalikan ke Polri kan tanpa catatan. Diberhentikan dengan hormat, waktu itu semua pimpinan menandatangani," kata Alexander sebelum mengikuti fit and proper test capim KPK di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9).
Sementara itu, terkait voting penetapan tersangka, Alexander menyampaikan hal itu dilakukan karena terkadang lima pimpinan KPK tidak satu suara tentang suatu keputusan yang diambil, seperti misalnya penetapan seorang tersangka. Pada akhirnya keputusan disebut Alexander dilakukan dengan cara pengambilan suara terbanyak atau voting.
Namun, Alexander menjelaskan penetapan tersangka itu tidak langsung pada proses voting, tetapi sudah melalui proses panjang. Voting disebut Alexander diambil di meja pimpinan apabila ada yang tidak satu suara. Selama menjadi pimpinan KPK dari 2015 hingga saat ini, Alexander mengaku baru tiga kali memberikan catatan khusus pada voting. Catatan khususnya itu sebagai perhatian atas sikapnya yang tidak sependapat.
"Terkait dengan voting penetapan tersangka itu tidak banyak, Pak, saya mungkin tidak lebih dari tiga kali bikin catatan khusus, kenapa saya belum yakin bahwa alat buktinya cukup," kata Alexander.
Kejutan Alexander
Selama proses uji kelayakan di DPR, ada juga sejumlah kejutan yang muncul dari ucapan Alexander. Misalnya tentang orang yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK hanyalah orang goblok.
"Kalau boleh saya katakan, hanya orang yang goblok saja yang kena OTT itu," kata Alexander dalam uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9).
Tak hanya itu, Alexander juga mengkritik pengumuman pemanggilan saksi oleh KPK. Menurut Alexander, pengumuman pemanggilan saksi itu dapat membuat orang tersebut dihakimi publik. Alex mengatakan akan mengevaluasi hal itu jika nanti kembali terpilih sebagai pimpinan KPK.
"Ini yang mungkin kita evaluasi lagi. Saya sih setuju kalau ini dievaluasi lagi terkait dengan suara gaduh. Rasa-rasanya teman-teman di kepolisian-kejaksaan bisa bekerja tanpa kegaduhan. Kenapa kita nggak bisa," kata Alexander. (mae/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini