Alasan yang meminta Papera 1969 dibatalkan karena sistem yang dilaksanakan menyimpang dari kesepakatan antara Indonesia dan Belanda tahun 1962. Berdasarkan kesepakatan tersebut act of free cohice dilakukan atas dasar one man one vote, bukan sistem perwakilan. Oleh karenanya mereka menginginkan referendum dilakukan ulang.
"Pelaksanaan Pepera telah dikukuhkan oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi 2504 (XXIV). Meski terjadi penyimpangan, namun fakta menunjukan Majelis Umum PBB menerima hasil Pepera," kata Hikmahanto kepada detikcom, Jumat (13/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlebih lagi ketika itu tidak ada satu negara pun yang menentang. Artinya hasil Pepera telah diterima oleh masyarakat internasional.
"Perlu dipahami bahwa dalam perspektif hukum internasional tidak ada preseden dimana resolusi Majelis Umum PBB dibatalkan," kata Hikmahanto menegaskan.
"Bahkan bila dicermati ketentuan dalam Piagam PBB atau Statuta Mahkamah Internasional, tidak ada mekanisme yang mengatur tentang pengujian atas produk hukum yang dikeluarkan oleh organ-organ dalam PBB, termasuk resolusi Majelis Umum," sambung Hikmahanto.
Meski demikian, Pemerintah RI perlu mewaspadai lobi-lobi sekelompok pihak yang mencoba mempertanyakan Resolusi 2504 (XXIV) ke dunia internasional. Pemerintah diminta tetap solid melakukan diplomasi di kancah internasional atas isu-isu Papua.
"Pemerintah tentu harus mencermati dan mengambil sikap atas berbagai langkah diplomasi yang dilakukan oleh Benny Wenda agar referendum di bumi Papua diulang," pungkas Hikmahanto.
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini