"Ketidakpuasan ini juga ditandai dengan jumlah laporan ke KY, yang dari tahun ke tahun tidak menyusut tetapi seperti gelombang magnetik, kadang naik, kadang turun dikit, kemudian naik lagi," ujarnya dalam diskusi "Eksaminasi putusan dalam rangka peningkatan kapasitas hakim untuk mewujudkan peradilan bersih", di gedung KY, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2019).
Data terakhir, Jaja menyebut terdapat terdapat 1.628 laporan yang diterima KY per Agustus 2019. Data itu menyebutkan terdapat 383 di antaranya yang diduga adanya pelanggaran kode etik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, putusan terkait adanya pelanggaran kode etik itu sudah di analisis oleh Mahkamah Agung (MA). Wakil Ketua MA Sunarto mengatakan putusan itu dilakukan dengan menempuh upaya hukum.
"Kalau eksaminasi sudah dilakukan oleh MA sejak badan peradilan itu berdiri, karena dikenal upaya hukum, tingkat pertama dieksaminasi oleh tingkat banding, tingkat banding oleh kasasi, kasasi oleh peninjauan kembali," ucapnya.
Lebih lanjut, eksaminasi itu jelas Sunarto lebih banyak berkiblat dengan peradilan MA di Belanda, yakni melakukan analisis setelah putusan inkrah.
"Yang tadi saya sampaikan karena kita lebih banyak berkiblat ke MA di Belanda itu istilahnya anotasi terhadap putusan yang sudah inkrah, kalau yang belum inkrah kami punya putusan sendiri dengan KY (secara internal) tanpa mengganggu independensi, kemandirian badan peradilan," tuturnya.
Sebelumnya, Badan Pengkajian MPR membeberkan ada upaya mendegradasi peran dan fungsi Komisi Yudisial (KY). Padahal reformasi mengamanatkan KY untuk membersihkan mafia pengadilan.
Salah satu contoh degradasi terhadap kewenangan KY yakni. Pasca putusan MK, KY hanya bisa memberikan rekomendasi sanksi. Rekomendasi itu sangat bergantung pada MA, apakah akan melaksanakan atau tidak. Sebagai contoh, dalam kasus Daming Sanusi, KY berpendapat Daming layak dibawa ke Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dan dipecat, tapi MA menyatakan sebaliknya. (eva/asp)