"Anak pertama (I Wayan Agus Sumardika) sekolah di Stikom, anak kedua (Nyoman Setiawan) lulus S2 dari Warmadewa, ketiga (Ketut Yuni Utari) masih kuliah di Warmadewa, dan keempat (Luh Linda Lestari) masih SMA," kata Nyoman saat berbincang di Pantai Sanur, Denpasar, Bali, Rabu (11/9/2019).
Nyoman mengaku tak pernah menargetkan anak-anaknya harus sekolah tinggi. Sebab, dia tak mau memaksa anaknya untuk memenuhi ekspektasinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nyoman pun tampak semringah ketika menghadiri yudisium anak keduanya di Hotel Grand Inna Bali Beach, Selasa (10/9) kemarin. Dia menyempatkan bekerja hingga pukul 09.00 Wita sebelum menghadiri yudisium anaknya itu.
Anak, istri dan keponakannya sudah lebih dulu berada di hotel. Dia pun menghubungi mereka melalui telepon untuk menanyakan ruangan.
"Ya ini maunya anak lanjut sekolah, tadinya sudah kerja di hotel terus mau lanjut sekolah lagi. Saya sih dukung-dukung aja," terangnya.
Nyoman mulai bekerja di usia 14 tahun dan sudah yatim piatu saat memulai aktivitasnya sebagai portir panggul di Pantai Sanur. Sebelum bekerja sebagai portir, dia sempat bekerja memberi pakan sapi di Nusa Penida.
"Saya pernah kerja ngasih makan sapi, terus ngirim-ngirim sapi, kalau sudah habis jaga sapi dari Nusa Penida, tapi kan sapinya datang jam 11.00-12.00 siang. Cuma karena nggak ada kerjaan paginya saya jam 07.00 Wita ke pantai, lagi santai-santai ada orang yang nyuruh saya antar barang, katanya nanti dikasih uang. Terus disuruh-suruh dapat banyak ongkosnya daripada kerja di sapi itu, akhirnya saya terusin," kenangnya.
Sejak menikah hingga punya anak, Nyoman menyebut keluarga menjadi pemacunya untuk bekerja lebih giat lagi, apalagi kebutuhan hidup makin banyak.
"Saya nikah tahun 1990, usia 17 tahun. Beda waktu belum kawin mau kerja apa nggak, kesiangan ya beda. Kalau sudah punya istri dan anak, jam sekian saya harus kerja, istirahat, karena beban kehidupan coba dan nyoba," terangnya.
Selama bekerja memanggul barang, dia juga tak pernah mematok tarif. Hanya saja, biasanya untuk mengangkut kotak-kotak kardus seberat 10-25 kg, dia biasa diupah Rp 10 ribu, sementara untuk motor biasa dia diupah Rp 50-100 ribu.
"Rata-rata sudah pesen dulu, langganan, sebelum ngirim sudah telepon. Biasanya 25 kg bawa 3 kampil. Satu kampil (upahnya) Rp 10 ribu, kadang 3 dikasih Rp 50 ribu tergantung orangnya," jelasnya.
"Per hari itu bisa dapat Rp 500 ribu kadang lebih. Nggak pernah pernah saya mikirin dapat uang berapa, kadang kaget, banyak. Ternyata ada uang (yang bayar) talangan. Kalau kerja kan fokus, nggak mikir sudah dapat berapa selama masih kuat ya terus," imbuh suami dari Ni Nyoman Kerti ini.
Selama berkarier 34 tahun sebagai portir di Sanur, Nyoman mengaku jarang mengambil libur kecuali ada acara keagamaan. Dia juga mengaku sangat berhati-hati saat membawa barang-barang milik pelanggannya.
"Kalau barang orang motor belum pernah (jatuh) karena jeli, itu barang mahal, makanya kita lihat situasi. Kalau barang kecil-kecil biasanya bawa 3 bawa 1 lihat situasi (ombak). Kita sudah lama pasti tahu celah-celahnya seperti apa," terangnya.
"Ombak kan ada itungannya, 5 jlebur, habis itu kecil. Pandangannya kita ke ombak, berapa kali dia datang, kalau baru pertama ditunggu dulu, cari celahnya. Kalau ngawur ya bisa jatuh," sambung bapak empat anak itu.
Anak Nyoman, Nyoman Setiawan (26), pun mengaku tak malu dengan pekerjaan bapaknya sebagai portir. Dia malah bangga dengan hasil kerja keras bapaknya.
"Kalau bangga pasti, perjuangan itu sangat membutuhkan apalagi dari segi ekonomi nyari S2 belum lagi ada utang. Saya juga nyoba ngurangi dengan kerja sampingan, astungkara bisa sampai gini (lulus)," tutur Awan semringah.
Dia pun mengaku biasa saja saat tahu ayahnya ramai diperbincangkan orang karena aksinya memanggul motor. Hanya saja memang teman-temannya malah lebih heboh.
"Saya sih biasa saja nggak wah, karena sudah tahu sebelumnya. Pas lihat viral cuma 'oh' tapi temen-temen yang pada heboh," ujarnya. (ams/gbr)











































