Katerina Andriana (44), salah satunya. Dia telah menggeluti kerajinan tenun sejak usia 15 tahun sehingga tak heran jari jemarinya begitu cekatan membuat motif di antara celah-celah benang. Menurut Adriana, pengerjaan kain tenun ini tak mengenal alat canggih dan telah diwariskan oleh para leluhur.
Menurut Adriana, motif tenun ikat dayak mempunyai makna khusus, salah satu yang populer adalah motif manusia. Kendati demikian, ada juga beberapa motif yang tidak boleh dikerjakan oleh para wanita yang masih muda.
"Sebenarnya setiap motif itu ada maknanya. Tapi menurut nenek moyang dulu, kalau belum usia 50 tahun ke atas, itu belum bisa katanya. Makanya kami belum berani nyoba buat motif itu, belum berani nanya orang tua, karena bilang nggak bisa," ujar Adriana, saat ditemui detikcom, Rabu (28/8/2019).
Proses pembuatan tenun ikat ini memang cukup rumit dan membutuhkan waktu yang panjang. Misalnya dalam mengerjakan satu tenun ikat yang ukurannya sebesar selimut, bisa mencapai 3 bulan lamanya. Mulai dari menyusun benang, mengikat dengan tali plastik, merendam dengan pewarna, menjemur, dan sampai pada proses menenun yang bisa dilakukan berulang kali untuk menghasilkan kain yang indah.
"Pertama kita beli benang itu berbentuk gulungan seberat 2 kg, kita pindahkan ke luaian untuk disusun di alat seperti tangga pengebat. Terus kita buat motif dengan tali plastik caranya diikat. Nah, kemudian kita kasih warna, caranya direndam semacam nyuci baju, kurang lebih kita bolak balik itu satu jam. Setelah itu baru kita letakkan di tangga ini sekalian di jemur, tapi dijemurnya tak boleh kena sinar matahari," ujarnya.
![]() |
Usai menghasilkan beragam warna benang, para penenun mulai menyusun benang tersebut agar menjadi kain. Adriana pun belajar menenun, mulanya dari orang tuanya.
Oleh karena itu, ia berharap kerajinan menenun ini masih akan terus dilestarikan hingga ke generasi yang akan datang. Adriana sebenarnya memiliki kekhawatiran mengingat saat ini banyak anak-anak yang merantau ke negeri orang, dan tak kembali ke kampung halaman.
"Kadang, yang menjadi kekhawatiran kita juga, anak-anak muda sekarang mau belajar, mau menenun, akan tetapi mereka masih sekolah. Tapi kalau perguruan tinggi, merantau dan mendapat pekerjaan di tempat lain, nggak pulang ke kampung ya sudah hanya sampai di situ," ujarnya.
Kain tenun Desa Ensaid Panjang ini terkenal berkualitas. Terbukti dari kain tenun ini mendapat juara dalam 3 tahun berturut dan telah dipromosikan sampan ke luar negeri.
"Ada yang ke Beijing, Filipina, Amerika, terakhir ke Swedia. Itu memang untuk diperkenalkan, ke sana itu dalam rangka kunjungan studi banding," ujarnya.
Aktivitas menenun pun diandalkan sebagai penopang ekonomi keluarga. Kain tenun ikat punya harga jual terbilang tinggi. Misalnya satu buah syal hasil tenun ikat ini dibanderol Rp 30 ribu. Untuk jenis pua kumbu berukuran besar bahkan bisa berkisar antara Rp 1 juta - Rp 1,5 juta per kain.
Apalagi, setahun belakangan ini, Desa Ensaid Panjang telah memiliki BUMDes yang salah satu bidangnya khusus pengembangan tenun ikat. Melalui BUMDes, para perajin kain tenun ikat ini terbantu, khususnya dalam pemasaran produk.
"Dengan adanya dana desa, desa membentuk BUMDes, salah satunya pengelolaan tenun ikat. Sehingga meningkatkan pendapatan di rumah Betang. Karena BUMDes, ini membantu pemasaran produk kerajinan yang dihasilkan dari ibu-ibu pengrajin. Jadi, manfaatnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sini," ujar Kepala Desa Ensaid Panjang, Fransisco Heri.
Menurut Fransisco, Desa Ensaid Panjang tahun 2019 ini mendapat jatah anggaran dana desa sebesar Rp 773.245.000. Penggunaan dana desa ada di antaranya untuk pengembangan pembangunan seperti polindes, posyandu, Paud, hingga infrastruktur jalan. Adapun BUMDes, terdiri di dua bidang usaha yaitu pertanian dan tenun ikat. Pada 2018 lalu sekitar Rp 60 juta, dan tahun 2019 ini alokasi dana tahap I ditambah sebesar Rp 20 juta. Untuk mengetahui informasi lainnya dari Kemendes PDTT, klik di sini.
(mul/ega)