"Karena sejak 2002 dipraktikan UU itu tapi dalam praktik ada yang tak betul. Sesuai aturan tak betul mencong ke kiri kekanan ada kurang pas di lapangan kan begitu. Kaya mobil aja mobil dipakai lima tahun tak di servis-servis apa ini jadi logika harus benar yang nolak, masa baju butut dipakai terus. Baju aja ancur ancuran," Romli Atmasasmita, kepada wartawan, Senin (9/9/2019).
Romli menjelaskan, dari aspek filosofis, revisi UU tersebut akan mengembalikan marwah dan jati diri yang sebenarnya ketika dibentuknya KPK sebagai lembaga yang fokus menangani permasalahan korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, kata Romli, untuk saat ini, pihak KPK terkadang tidak melakukan kordinasi dan supervisi apabila melakukan penindakan dengan lembaga-lembaga tersebut. Padahal, tugas utama dari KPK adalah melakuan kordinasi selain penindakan.
"Kenapa perlu kordinasi karena KPK dianggap superbody lembaga independen. Karena kewenangan lebih dari jaksa, polisi. Lebihnya KPK bisa kordinasi supervisi kalau supervisi di jaksa dan polisi ada masalah bisa ambil alih. Sebaliknya polisi jaksa tak bisa ambil dari KPK," ujar Romli.
Selain itu, Romli juga mengkritisi soal kewenangan penyadapan KPK. Menurutnya, KPK boleh melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan. Berbeda dengan pihak dari Kejagung dan Polisi. Lalu, soal penanganan perkara yang dibawah Rp1 miliar.
Jika ditinjau dari peran supervisi yang dimiliki KPK, kata Romli, seharusnya apabila menemukan adanya indikasi praktik korupsi, KPK harus mengutamakan kordinasi dengan lembaga terkait.
"KPK kordinasi sama menterinya datangin, kasih tahu berhenti itu kordinasi. Lalu supervisi diawasi kalau bandel baru tangkep sudah jangan banyak cerita. Karena sudah dikasih tahu bandel," tutur Romli.
Apabila memang masih ditemukan permainan setelah terjalinnya kordinasi itu, baru KPK melakukan penindakan. Mengingat, tugas utama KPK ada kordinasi, supervisi baru penindakan.
"Baru penyidikan baru tuntutan ke pengadilan itu maksudnya tugas KPK korsup dan penyidikan jangan kebalik," ujar Romli.
Kemudian, dari aspek sosiologis, Romli menyebut, saat ini tidak seluruh suara masyarakat bulat memberikan dukungan kepada KPK. Pasalnya, hal itu dapat dilihat dari respon masyarakat yang pro dan kontra dari pembahasan revisi UU KPK.
"Pertimbangan sosiologis kita lihat dulu KPK waktu kita bikin dukungan masyarakat luar biasa dukungan institusi pemberitaan 100 persen. Sekaeang lihat revisi pro kontra ada yang mau ada yang tak usah. Kalau pro kontra masyarakat terbelah, nggak 100 persen juga masyarakat nggak 100 persen suka nggak percaya lah bahasa saya," papar Romli.
Lalu dari aspek yuridis, Romli menuturkan bahwa, dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi UU KPK. Dalam putusan itu disebutkan, KPK adalah lembaga independen cabang kekuasaan eksekutif yang menangani permasalahan korupsi.
"Kalau itu putusan MK maka dampaknya UU KPK direvisi karena UU KPK tak sebut lembaga independen jalan tugasnya lidik sidik dan tuntutan. Dengam putusan MK itu UU KPK dipernaiki secara struktural dan organisatoris," ujar Romli.
Di sisi lain, Romli menyebut, cita-cita dibentuknya wadah pegawai KPK juga melenceng dari aturan yang ada. Mengingat, wadah itu seharusnya dibentuk untuk fokus ke masalah internal bukan eksternal di luar KPK.
"Sekarang lihat pegawai KPK disiplin tidak, ada pegawai KPK punya wadah pegawai KPK bukan untuk demo. Peraturan pimpinan KPK ada itu 2018 itu pasal 57 sama yang neken itu, atas rekomendasi pimpinan yang boleh gerak diem semua deputi wajib mengikut sertakan wadah pegawai untuk sampaikan aspirasi kepada pimpinan untuk apa, promosi mutasi pegawai dibatasi kan," ucap Romli.
"Nah ini kejadiannya engga ekternal diurusin UU KPK ikut omong. Itu juga sudah langgar aturan tuh. Jadi disiplin sudah amburadul," tutup Romli.
Berikut poin-pin pernyataan Romli:
1. Perubahan UU KPK merupakan kenisyaan karena memiliki landasan konstitusional yang memperkuat KPK sebagai lembaga independen dan berdampak terhadap perubahan karakter kelembagaan KPK. Berbeda dengan karakter lembaga ketika pertama kali dibentuk.
2. Perubahan UU KPK diperlukan agar memperkuat dalam KPK melaksanaan koordinasi dan supervisi yang lebih intensif dan efisien dalam pencegahan dan penindakan korupsi meliputi perampasan aset korupsi yang diharapkan dapat mengembalikan keuangan negara dengan efisien dan efektif.
3. Sembilan point yang dianggap pelemahan KPK bertentangan dengan filosofi dan tujuan perubahan UU KPK, yaitu penguatan KPK sebagai lembaga pemerintahan yang bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan dalam pencegahan dan penindakan korupsi.
4. Penolakan sekelompok masyarakat terhadap perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak dilengkapi dengan data dan fakta hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan karena hanya mengandalkan opini dan prasangka buruk publik semata.
5. Usul perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah memenuhi alasan-alasan filosofi, yuridis, sosiologis, komparatif dan didukung secara politis dalam sidang Paripurna DPR.
Romli juga memberikan saran:
1. Pembahasan RUU perubahan UU KPK agar dilanjukan dibahas DPR dan pemerintah dengan mengikutsertakan masyarakat.
2. Setiap aspirasi masyarakat terhadap perubahan UU KPK agar disampaikan dibahas di dalam rapat DPR pembahasan RUU Perubahan UU KPK.
Revisi UU Bikin KPK di Ujung Tanduk
Untuk diketahui, tiga poin yang menjadi tuntutan Sahrul dan kawan-kawannya ini, benar-benar bertolak belakang dengan apa kemauan KPK dan juga koalisi masyarakat sipil. KPK dan koalisi menganggap, revisi UU KPK betul-betul akan membuat lembaga ini menjadi lumpuh.
"Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk," kata Ketua KPK menanggapi diusulkannya UU KPK sebagai salah satu UU yang akan direvisi, Kamis (5/9/2019).
Dia kemudian menyebut kondisi di ujung tanduk dialami KPK terkait revisi UU KPK dan juga proses seleksi capim KPK periode 2019-2023. Menurutnya, kondisi yang dialami KPK belakangan ini membuat lembaga antirasuah itu rentan diganggu berbagai pihak.
"Bukan tanpa sebab. Semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini membuat kami harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya saat ini. Pertama, adalah tentang seleksi pimpinan KPK yang menghasilkan 10 nama calon pimpinan yang di dalamnya terdapat orang yang bermasalah. Hal seperti ini akan membuat kerja KPK terbelenggu dan sangat mudah diganggu oleh berbagai pihak," ujar Agus.
Dia juga menyinggung keberadaan RUU KUHP yang dinilai bisa mencabut sifat khusus tindak pidana korupsi. Hal tersebut juga mengancam keberadaan KPK.
Agus lantas memamerkan capaian pemberantasan korupsi KPK dengan dasar hukum UU 30/2002. Sejak KPK efektif bertugas tahun 2003, Agus mengatakan KPK telah menangani 1.064 perkara dengan tersangka dari berbagai macam latar belakang.
KPK pun menolak secara tegas revisi UU KPK. KPK merasa tak butuh revisi UU untuk menjalankan pemberantasan korupsi. Agus pun berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak rencana revisi UU KPK. (fjp/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini