"Saya coba jelaskan sedikit pandangan terhadap rasa frustrasi ketidakmampuan memberantas korupsi. Saya anggap bahwa konpres KPK ekspresi frustrasi karena tidak mampu memberantas korupsi. Jadi kalau kita belum bicara dalam perspektif sistem maka persoalan yang diamanatkan masyarakat dan UU tidak bisa kita selesaikan cepat. Bukan keadaan yang kita salahkan tapi pejabat publik dapat amanah itulah yang harus dipersalahkan," kata Fahri kepada wartawan, Jumat (6/9/2019) malam.
Baca juga: Bahaya Laten Revisi UU KPK |
Fahri menyebut anggaran untuk operasional KPK sangatlah besar. Dia menganggap KPK enggan disalahkan terkait masih banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Fahri, ada kesan KPK tidak ingin dikritik meski dengan hasil kerja yang minim. Dia menyoroti sikap pegawai KPK yang terkesan tidak diawasai dan diatur.
"Jadi ada kesan lebih baik masalah tambah banyak, supaya institusi tetap ada. Petugasnya tetap digaji, bahkan petugasnya secara tidak bertanggung jawab menjadikan lembaga negara sebagai tempat berjuang. Dalam pengertian menjadikan lembaga negara pahlawan di tempat tersebut," terangnya.
Baca juga: Kepada Jokowi KPK Berharap Tak Mati |
Terkait penolakan terhadap usul revisi Undang-Undang KPK, Fahri menuding KPK antikritik. KPK dinilai tetap harus diawasi.
"KPK kan sering dianggap sebagai holy cow, nggak boleh salah dia. Prinsipnya adalah di mana ada kewenangan besar ya ada pengawas," tuturnya.
Kritikan kedua terhadap KPK dari Fahri yaitu terkait SP3. Dia mengatakan aturan tersebut harus segera direvisi karena dinilai mendiskriminasi pihak-pihak tertentu.
"Kedua soal SP3 aneh, banyak kasus tersangka seumur hidup karena KPK tidak bisa mengeluarkan SP3. Harusnya semua manusia termasuk penyidik KPK mungkin keliru. Kalau dia keliru ya dia keluarkan SP3 sebagai koreksi atas ketidakmampuannya menemukan kesalahan orang. Bukannya orang terpaksa disalah-salahkan. Hanya karena KPK tidak boleh mengeluarkan SP3," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo membeberkan data penanganan kasus di KPK. Dari data yang diperoleh, kasus terbanyak berasal dari anggota DPR dan DPRD.
"Kalau kita lihat data di website KPK saat ini, lebih dari seribu perkara korupsi sudah ditangani. Tapi ini bukan hanya soal jumlah orang yang ditangkap dan diproses hingga divonis bersalah melalukan korupsi saja. Jabatan pelaku korupsinya juga terbaca jelas," kata Agus kepada wartawan, Jumat (6/9/2019).
"Pelaku pejabat publik terbanyak adalah para anggota DPR dan DPRD, yaitu dalam 255 perkara. Kemudian Kepala Daerah berjumlah 110 perkara. Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang. Ini baru data sampai Juni 2019. Setelah itu, sejumlah politisi kembali diproses," imbuh Agus.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini