Usia Kehamilan Jadi Sorotan di RUU KUHP Soal Korban Perkosaan

Round-Up

Usia Kehamilan Jadi Sorotan di RUU KUHP Soal Korban Perkosaan

Tim detikcom - detikNews
Rabu, 04 Sep 2019 08:25 WIB
Foto ilustrasi (DW/Soft News)
Jakarta - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) memuat aturan tentang aborsi. Bila KUHP yang kini berlaku melarang aborsi dengan alasan apapun, kini RUU KUHP yang sedang dibahas DPR membolehkan aborsi terhadap korban pemerkosaan.

Untuk KUHP yang kini berlaku, pasal tentang aborsi ada di pasal 346, 347, 348, dan 349. Di pasal 346 diatur, wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain untuk melakukan itu maka bisa dipidana maksimal empat tahun.



Di Pasal 347, orang yang mengaborsi tanpa persetujuan wanita yang mengandung janin maka orang tadi bisa dihukum penjara paling lama 12 tahun, bila dengan persetujuan si wanita maka dipidana 5 tahun 6 bulan. Bila wanita itu meninggal dunia, maka hukumannya lebih lama lagi, antara 7 hingga 15 tahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di RUU KUHP, aborsi diatur di pasal 470. Muatannya masih sama dengan pasal 346 KUHP yang kini berlaku. Berikut bunyi pasalnya.

Pasal 470 RUU KUHP
Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun

Muatan aturan yang baru ada di Pasal 471 RUU KUHP. Di situ diatur, aborsi yang dilatarbelakangi kasus pemerkosaan bisa dilakukan tanpa ancaman pidana. Berikut bunyi pasalnya.

Pasal 471 ayat 3 RUU KUHP
Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana

Usia kehamilan disorot

Selain di KUHP, Indonesia juga punya aturan terkait aborsi yakni di UU Kesehatan jo Peraturan Pemerintah PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dalam PP itu diatur, pengguguran kandungan bisa dilakukan dengan kondisi-kondisi tertentu. Berikut bunyi pasal di PP No 61/24 tentnag Kesehatan Reproduksi.

Pasal 31
(1) Tindakan aborsi hanya diapat dilakukan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis
b. kehamilan akibat perkosaan
(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.



Limit waktu maksimal 40 hari bagi aborsi korban perkosaan itu disorot Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Komnas Perempuan memandang hal baru dalam RUU KUHP, yakni diperbolehkannya aborsi untuk korban perkosaan, sebenarnya sudah diakomodasi dalam PP tentang Kesehatan Reproduksi. Yang kini jadi masalah adalah implementasinya.

"Prinsipnya, Indonesia sudah melegalkan aborsi untuk korban perkosaan. Sayangnya, ini tidak bisa dilaksanakan karena korban pemerkosaan atau kekerasan seksual rata-rata mengetahui kehamilannya di atas 40 hari," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, kepada wartawan, Selasa (3/9/2019).

Secara psikologis, korban pemerkosaan punya problem menghadapi masalahnya. Mereka menyimpan pengalaman pahit dalam waktu yang cukup lama. Dalam kondisi itu, melangkah untuk tes kehamilan dan kesehatan bukanlah perkara yang sederhana bagi mereka.


Sebagai mantan konselor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Budi sering menangani korban pemerkosaan yang mengalami trauma dan tak segera memastikan ada apa di dalam rahim yang bersangkutan, hingga lewatlah 40 hari itu.

"Limit 40 hari itu berasal dari pemahaman keagamaan bahwa sebelum 40 hari, nyawa belum ditiupkan. Tapi umumnya, korban pemerkosaan mengetahui bahwa dia hamil saat usia kehamilannya sudah lebih dari 40 hari," kata Budi.



Problem lainnya, hingga kini belum ada peraturan turunan yang mengatur secara teknis aborsi untuk korban pemerkosaan. Dokter-dokter juga tidak berani mengaborsi korban pemerkosaan yang sudah hamil melampaui limit 40 hari masa kehamilan. Problem inilah yang menurut Budi seharusnya dipastikan pemerintah dan legislatif.

"Aborsi itu pilihan korban. Kalau korban memilih itu, negara idealnya memfasilitasi, termasuk bagian dari solusi dan hak korban," kata Budi.
Dia tak ingin publik mempertentangkan antara hak korban pemerkosaan dengan hak hidup si janin. Soalnya, kata dia, banyak korban pemerkosaan menyimpan dendam dan trauma yang tak baik bagi masa depan anak. "Jangan dikonfrontasikan antara hak perempuan dengan hak anak," kata dia.


Simak Video "Koalisi Pemantau Peradilan Tolak Pasal Menghina Pengadilan di RUU KUHP"

[Gambas:Video 20detik]

Halaman 2 dari 3
(dnu/mae)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads