"Secara natural, dalam sistem presidensil, parlemen kerjanya mengkritisi presiden. Kalau dibangun koalosi besar, tidak ada jaminan bahwa presiden tidak dikritisi parlemen. Karena parlemen dipilih rakyat untuk mengkritisi eksekusif," kata Saldi.
Hal itu disampaikan dalam seminar di rangkaian Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-6 dengan tema 'Memperkuat Kabinet Presidensial Efektif' di Hotel JL Luwansa, Jakarta (2-4/9/2019). Ia menguatkan argumentasinya yaitu saat Presiden SBY, koalisi pemerintah menguasai hampir 70 persen suara DPR. Tapi nyatanya, jumlah tersebut tidak selamanya memuluskan program-program SBY.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat yang memiliki 2 parpol di DPR. Presiden Obama tetap harus meyakinkan partainya sendiri, Partai Demokrat untuk memuluskan kebijakannya. Meski diusung dari Partai Demokrat, tidak serta merta gagasan Obama diterima 100 persen partainya di parlemen.
Oleh sebab itu, posisi menteri menjadi bergaining dengan DPR dalam menjalin relasi itu.
"Ini namanya Presidensial Good. Benda-benda yang ditawarkankan presiden untuk bernego dengan kekuatan-kekuatan di parlemen. Semakin besar pendukung, semakin besar dilakukan negosiasi. Kenapa? semua orang minta kan? Jadi ujian Presiden dalam sistem presidensil, seberapa jauh, seberapa tahan, seberapa kuat menghadapi tekanan-tekanan dari parlemen," pungkas Saldi.
(asp/gbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini