Awalnya Sujanarko menyebutkan banyaknya kasus korupsi mangkrak di kejaksaan ataupun KPK. Kasus-kasus yang mangkrak itu bisa jadi memiliki potensi kerugian negara yang besar dan hal itu disebut Sujanarko seharusnya bisa diatasi dengan konsep plea bargaining.
"Tentu, khususnya kejaksaan dan KPK, sebetulnya ada daftar tunggu kasus ditangani dan kira-kira dari jaksa dan KPK ada daftar siapa saja, potensi kerugian seperti apa. Lima tahun lalu, saya dapat informasi dari internal KPK yang menyampaikan ada koruptor yang sedang stay di Singapura ingin mengembalikan uang Rp 5 triliun tapi mekanisme itu tidak ada gimana supaya dia tidak dibawa ke pengadilan, tapi ganti rugi segitu," ucap Sujanarko saat tes wawancara dan uji publik di gedung Kemensetneg, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini tentu tidak di KPK karena pasti nabrak hukum acara kita. Maka instrumennya perlu. Detailnya nggak tahu saya tapi kumpulkan expert untuk drafting perlu terkait penundaan pidana melalui plea bargaining itu," sebut Sujanarko, yang sudah 15 tahun bekerja di KPK.
Luhut Pangaribuan, yang dihadirkan sebagai panelis, memberikan tanggapan. Dia menanyakan cara Sujanarko mewujudkan konsep itu apabila nantinya terpilih menduduki jabatan tertinggi di KPK yang sifatnya kolektif kolegial.
"Ini program saudara bersama pimpinan lain tentu kolektif kolegial. Konsekuensinya akan mengubah Undang-Undang KPK?" tanya Luhut.
"Ini yang sangat krusial. Ada rekomendasi PBB tapi sampai hari ini nggak bisa ditindaklanjuti. Banyak hal-hal yang menurut PBB bermasalah di masalah hukum kita. Tentu kalau ada jaminan UU KPK lebih baik akan kita dukung," jawab Sujanarko, yang saat ini menjabat Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) di KPK.
Halaman 2 dari 2











































