Gugatan soal penutupan trotoar Tanah Abang itu dimenangkan kader PSI William Aditya Sarana dan Zico Leonard. Dua kader partai pimpinan Grace Natalie itu menggugat Pasal 25 ayat (1) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum. Pasal itu digunakan Anies untuk menutup Jalan Jatibaru, Tanah Abang, untuk pedagang kaki lima selama pembangunan skybridge.
Putusan Mahkamah Agung itu bernomor 42 P/ HUM/ 2018. Perkara tersebut telah diputus sejak 18 Desember 2018, namun salinannya baru-baru ini diterima oleh PSI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
William berharap Anies bisa menaati putusan MA tersebut. Dia ingin semua fasilitas umum di Ibu Kota tidak lagi terganggu.
"Ini merupakan langkah yang baik agar tidak terjadi lagi penyelewengan fasilitas umum yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta di kemudian hari," jelas William di kantor PSI.
William menuturkan kebijakan penutupan jalan untuk PKL mengganggu ketertiban masyarakat. Dia berharap aturan tersebut bisa direvisi.
"Kebijakan penutupan jalan untuk PKL berdagang itu jelas sangat kontraproduktif karena telah mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni pejalan kaki dan kendaraan umum. Sudah pasti jalanan dan trotoar di DKI Jakarta akan semakin kacau dan hancur," tutur William.
Atas putusan tersebut, Anies menghormati proses hukum yang berlaku. Anies akan mengkonsultasikan putusan MA itu dengan jajarannya.
"Nanti kita lihat implikasinya, tapi prinsipnya kita akan mengikuti keputusan pengadilan kita menghormati keputusan pengadilan," kata Anies di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (19/8).
Namun kritik dari PSI tak berhenti. PSI kemudian menyentil soal narasi Anies terkait pejalan kaki sebagai alat transportasi yang dimiliki semua orang.
"Juga kita harus ingat bahwa penutupan jalan pedagang ini merupakan kepentingan umum lebih luas, kepentingan pejalan kaki dan juga kepentingan umum. Pak Anies kan pernah mengatakan di salah satu acara televisi nasional bahwa alat transportasi kita yang dimiliki semua orang adalah kaki. Kaki ini digunakan untuk di trotoar," kata Anggota DPRD DKI Terpilih PSI, William Aditya Sarana, saat jumpa pers, di Kantor DPP PSI, Jalan KH Wahid Hasyim, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (21/8).
Wiliam meminta Anies segera menata para PKL di trotoar Jakarta. William menegaskan bukan anti terhadap PKL namun dia ingin warga DKI tidak saling mengganggu.
"Jadikan putusan Mahkamah Agung ini sebagai momentum untuk Pak Anies untuk segera menata PKL. Kami bukan anti PKL, kami ingin PKL ini ditata di DKI Jakarta. Agar tidak mengganggu luas, jadi PKL-nya enak, pejalan kaki dan angkutan tidak terganggu," ucapnya.
Pernyataan PSI itu kemudian ditanggapi lagi oleh Anies. Dia bicara tentang pelanggaran rakyat kecil dan besar.
Dia awalnya menyebut, kalau ada pelanggaran yang diduga dilakukan rakyat kecil, orang akan ramai-ramai memviralkan, bahkan menuntut lewat jalur hukum. Namun, jika ada pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pihak yang disebutnya raksasa, seperti penyedotan air tanah di jalan Thamrin-Sudirman, tak ada yang menuntut.
"Sering kali kali pelanggaran pada yang kecil dan miskin ramai-ramai kita viralkan dan caci-maki, tapi pelanggaran yang besar dan raksasa luput dari perhatian. Penyedotan air tanah di (Jalan) Thamrin dan Sudirman tidak ada yang potret, viral dan tak ada yang nuntut di MA (Mahkamah Agung)," ucap Anies kepada wartawan di gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Anies lalu mengklasifikasi alasan pelanggaran oleh masyarakat, yaitu karena kebutuhan dan karena keserakahan. Dia berharap orang-orang tidak lebih sensitif pada pelanggaran oleh rakyat kecil sementara yang besar tidak.
"Yang melanggar karena keserakahan ditindak secara hukum. Yang melanggar karena kebutuhan harus diselesaikan solusi untuk kebutuhannya. Karena ada kebutuhan hidup," ucap Anies.
"Jangan sampai kita lebih sensitif pada pelanggaran rakyat kecil dan insensitif pada pelanggaran yang besar. Padahal yang besar itu melanggarnya karena keserakahan," sambungnya.
Narasi Anies mengenai pelaranggan rakyat kecil dan besar ini mendapatkan serangan balik dari PSI. Pernyataan Anies itu dinilai berbahaya bagi demokrasi.
"Narasi pelanggaran besar dan pelanggaran kecil yang dilontarkan Gubernur DKI sangatlah berbahaya bagi demokrasi. Retorika ini membelah warga dan dapat menyulut kebencian dan kecurigaan di antara warga Jakarta," kata jubir hukum PSI, Rian Ernest, dalam keterangannya, Jumat (23/8).
"Menentangkan status hukum antara yang miskin dan kaya secara nyata dan vulgar seperti itu hanya akan merugikan warga DKI Jakarta yang memang sejatinya merupakan melting pot dari berbagai kelas dan latar belakang," imbuh Rian Ernest.
Rian Ernest juga menyoroti pernyataan Anies tentang pelanggaran penggunaan air di DKI. Menurutnya, Anies tak perlu bernarasi, tapi menindak langsung oknum yang melakukan pelanggaran itu.
"Semakin aneh pula ketika Pak Anies melontarkan narasi soal pelanggaran penggunaan air yang sepenuhnya merupakan kewenangan Gubernur DKI. Siapa pun yang melanggar hukum harus ditindak. Gubernur DKI punya kewenangan penuh. Tidak perlu dengan kata-kata, tapi tindak nyata. Berhentilah beretorika, Pak Anies. Anda Gubernur, bukan pujangga. Rakyat butuh kerja, bukan makan kata-kata," ucap Rian.
Simak Video "Menang Gugatan Lawan Anies, PSI Minta PKL Trotoar Jatibaru Ditertibkan"
Halaman 2 dari 2