"Saya kira seperti yang dikatakan tadi kemudian untuk dikontrol, diawasi betul, apa yang mereka sepakati dalam dua hari yang begitu cepat dengan anggaran begitu banyak sekitar Rp 80 triliun saya kira," kata peneliti Formappi, Lucius Karus, Selasa (13/8/2019).
Lucius mengatakan hal itu dalam diskusi 'Mendadak Rajin di Akhir Jabatan: Menelisik Perilaku DPRD DKI yang Membahas Anggaran secara Kilat di Akhir Masa Jabatan' di DPP PSI, Jalan KH Wahid Hasyim, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lucius mengaku curiga dengan DPRD DKI yang 'mendadak rajin'.
Diketahui, masa kerja DPRD DKI periode 2014-2019 akan berakhir pada Minggu (25/8) nanti. Di waktu yang sempit ini, dia meminta publik ikut mengawasi segala macam modus yang bisa saja dilakukan DPRD DKI dalam menyelesaikan pembahasan APBD-P 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lucius kemudian teringat ketika Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok memimpin DKI. Menurutnya, semangat transparansi pada masa kepemimpinan Ahok pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif begitu ramai dibicarakan.
Dia mengatakan anggaran yang dimiliki DKI begitu besar. Lucius mengatakan pada pemerintahan saat ini kontrol eksekutif yang lemah membuat munculnya potensi penyimpangan anggaran.
"Saya kira, kenapa kemudian, kembali ke DPRD DKI, kenapa kemudian mereka mendadak rajin? Saya kira ada hubungannya, bukan cerita baru. DPRD DKI ini baru dikenal orang eksistensinya itu sejak ada seorang Ahok ketika itu yang membongkar banyak hal. Sebelumnya semua orang males, orang tahu semua di sini begitu banyak uang beredar di DKI," tuturnya.
"Ada begitu banyak masalah di DPRD, tidak hanya terkait anggaran, tapi selepas di era Ahok itu, muncul kepemimpinan baru saya kira paling diinginkan DPRD. Pemerintah yang kemudian juga tidak peduli dengan namanya check dan balance atau fungsi kontrol antara DPRD dengan eksekutif tapi bermain di ruang gelap itu selalu potensial penyimpangan dan sebagainya," sambungnya.
Lucius melihat saat ini tidak ada keterbukaan informasi terkait pembahasan APBD-P. Dia menilai budaya transparansi di lingkungan pemerintah daerah DKI hilang selepas masa Ahok.
"Tapi itu dia, PSI saja yang mestinya punya akses karena anggotanya terpilih jadi anggota DPRD. Sebelumnya, tidak ada lembaga yang bisa dengan mudah mendapatkan akses untuk mendapatkan informasi. Akses bukan hanya tidak disediakan atau tidak tersedia, tapi memang informasinya tidak ada yang secara resmi. Bukan hanya punya budaya ketertutupan tetapi tata kelola informasi itu lemah, itu kemudian menyediakan ke publik bermasalah," kata Lucius.
"Setelah era Ahok, anggaran yang sebelumnya ramai dibicarakan di DKI, itu sudah melempem lagi. Justru lebih banyak muncul dugaan-dugaan proyek atau penyimpangan yang diduga dilakukan oleh DPRD dengan berbagai macam modus," tambahnya.
Bagi Prasetio, meski hanya menyisakan waktu kepengurusan sampai 25 Agustus 2019, pembahasan tidak akan mengurangi kualitas. Pembahasan APBD-P lebih gampang dibanding pembahasan APBD.
"Siapa bilang (akan ada masalah), APBD-P kan sedikit nggak seperti murni (APBD). Apa yang kurang apa yang tambah. Itu saja yang dipertanyakan," ucap Prasetio.
Saat ini, DPRD bersama dengan eksekutif sedang membahas Kebijakan Umum Perubahan APBD (KUPA) dan Prioritas Plafon anggaran Sementara (PPAS). Setelah pembahasan itu selesai, akan ditetapkan APBD-P 2019 di Rapat Paripurna. (jbr/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini