Pria lajang asal Bireuen, Aceh ini tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang Aceh Besar, Aceh pagi tadi, Kamis (8/8/2019). Dia kemudian diserah terimakan di Kantor Dinas Sosial Aceh. Dia dipulangkan bersama dua napi hukuman mati lain yaitu Tarmizi (45) dan Sulaiman (46).
Bustamam tak kuasa menahan haru kala menginjak kaki di Tanah Rencong. Matanya berkaca-kaca. Ucapan terima kasih kepada pihak yang membantunya berkali-kali terucap dari mulutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bustamam berkisah, dirinya merantau ke Malaysia pada 1993 silam saat usia baru 17 tahun. Dia awalnya bekerja sebagai buruh bangunan dengan gaji perhari sebesar 30 ringgit Malaysia.
Setahun berselang, Bustamam terpengaruh dengan teman-temannya. Dia mulai mengedar ganja asal Thailand di wilayah Kuala Lumpur. Bisnis haram ini digelutinya untuk mendapat uang lebih banyak.
Pada suatu malam di tahun 1996, Bustamam mendapat pesanan ganja dari seseorang. Setelah terjadi kesepakatan lokasi transaksi, barang haram itu diantar ke pemesan.
Dia datang ke lokasi bersama Tarmizi yang saat itu berusia 23 tahun. Bustamam masuk ke mobil dan bertemu dengan si-pemesan yang belakangan diketahui sebagai polisi yang tengah menyamar.
Usai mengobrol beberapa saat, Tarmizi menjemput ganja yang disimpannya. Beberapa polisi rupanya sudah membuntutinya. Begitu tas berisi ganja diambil, Tarmizi ditangkap. Polisi memintanya membuka tas.
Tarmizi berusaha melawan. Saat mencoba kabur, dia ditembak di kaki. Sementara Bustamam melihatnya dari mobil. Ketika hendak turun, seorang polisi meletakkan senjata di dahi Mustamam.
"Jangan keluar kamu, saya polisi," Bustamam meniru ucapan polisi Malaysia.
Kala itu, Bustamam pasrah. Dia dibawa ke kantor polisi di wilayah Kuala Lumpur. Setelah diperiksa, dia didakwa mengedar narkoba dengan barang bukti tiga kilogram ganja. Kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Setahun berselang, dia divonis hukuman mati.
Bustamam diproses dalam satu perkara dengan Tarmizi. Upaya banding hingga kasasi keduanya ditolak pengadilan. Bustamam pun harus merasakan dinginnya sel beberapa penjara di Malaysia. Dia sempat dipindah ke beberapa bui.
"Awalnya saya satu penjara dengan Tarmizi. Tapi beda sel. Saya ditahan satu sel sendiri begitu juga Tarmizi," ungkapnya dalam bahasa Aceh.
Lama mendekam di penjara, Bustamam dan Tarmizi sudah tidak dapat berhasa Indonesia. Keduanya berbicara dalam bahasa Melayu atau bahasa Aceh. Menurut Bustamam, dia bersama Tarmizi menjalani persidangan dari tahun 1997 sampai 2010.
Setelah upaya hukum habis, Bustamam menulis surat permohonan pengampunan ke Pemerintah Malaysia. Pada 2012, keluar pengampunan dan hukumannya diubah menjadi 20 tahun.
Surat permohonan pengampunan kembali dilayangkan. Usai berbagai upaya ditempuh, Bustamam dan Tarmizi dinyatakan bebas murni.
"Waktu itu saya sudah tidak berfikir lagi akan bebas. Tapi saya ternyata diberi pengampunan sehingga bebas," ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
Foto: Bustamam Kaos Merah. (Agus Setyadi) |
"Saya tidak mau lagi kasus seperti ini terulang. Saya dan Tarmizi orang dari Aceh kedua yang divonis hukum mati di Malaysia," imbuhnya.
Sementara seorang napi lain Sulaiman ditangkap pada 2004 lalu. Saat itu, dia sedang membungkus ganja di rumahnya. Barang bukti setengah kilogram ganja ditemukan di rumahnya.
"Sebenarnya ganjanya 6 kilogram. Tapi di dalam dua berkas. 5,5 kilogram saya menang di pengadilan. Tapi saya dihukum mati karena ganja setengah kilogram. Saya sangat bersyukur bisa bebas kembali" bebernya.
Halaman 2 dari 2












































Foto: Bustamam Kaos Merah. (Agus Setyadi)