"Ketentuan Pasal 29 angka 11 UU KPK jelas dan terang benderang menentukan bahwa laporan harta kekayaan capim KPK harus dilakukan sedari awal, bukan pada proses akhir," kata peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Hemi Lavour Febrinandez dalam siaran pers yang diterima detikcom, Jumat (2/8/2019).
Sikap ini juga ditandatangani Pukat UGM, Puskapsi Universitas Jember, HRLS FH Universitas Airlangga, Pusad UM Surabaya, Lembaga Taman Metajuridika FH UNRAM, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), PARANG Universitas Lambung Mangkurat, serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI.
"Persyaratan yang ditentukan Pasal 29 angka 1 hingga angka 10 seluruhnya diserahkan dari awal proses pemenuhan syarat administrasi," ujar Hemi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apakah Pansel telah benar-benar melakukan check and recheck terhadap berkas-berkas capim KPK atau memang orang- orang tertentu merupakan preferensi Pansel sehingga dalam keadaan apapun harus diluluskan? Tentu dugaan tersebut harus dibuktikan Pansel dengan terbuka menjelaskan kepada publik luas kenapa sebabnya figur-figur seperti dapat lulus hingga tahap berikutnya," papar Hemi.
Mereka juga meminta Pansel KPK mencoret calon dari unsur aparat penegak hukum konvensional. Sebab, penjelasan umum UU KPK menerangkan bahwa aparat penegak hukum konvensional selama ini telah gagal dalam memberantas korupsi. Itu sebabnya, KPK kemudian dibentuk agar upaya pemberantasan korupsi dapat diwujudkan.
"Artinya, KPK sesungguhnya tidak diperuntukkan bagi aparat penegak hukum konvensional sebab mereka telah gagal. Tentu akan menjadi kontradiktif jika aparat penegak hukum konvensional itu mendominasi KPK. Bukankah mereka telah gagal," cetusnya.
Meski demikian, kegagalan aparat penegak hukum konvensional itu tidak berarti bahwa aparat penegak hukum tersebut jahat.
"Mereka hanya gagal, bukan jahat. Banyak di antara aparat penegak hukum konvensional itu orang baik. Sebagai orang baik pun mereka tidak perlu ditempatkan di KPK," pungkasnya. (asp/rvk)