Hal ini diungkapkan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Arif Zudan Fakhrulloh. Zudan mengimbau masyarakat berhati-hati dengan data pribadi kependudukan mereka.
Data pribadi yang dimaksud di antaranya data di e-KTP, kartu keluarga, serta nomor induk kependudukan (NIK). Dia mengatakan data personal ini rentan disalahgunakan, salah satunya dilakukan penyedia fintech liar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangan mudah memberikan data kepada lembaga atau orang atau apa pun, siapa pun. Utamanya kepada fintech-fintech yang tidak terdaftar. Sebab, nama kita bisa disalahgunakan," tutur Zudan di Pusdiklat Kepemimpinan LAN-RI, Jl Administrasi II No 24, Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2019).
Zudan mengucapkan hal ini saat bertemu dengan Samuel Christian H, pemilik akun Twitter @hendralm. Hendra adalah pelapor pelanggaran (whistleblower) maraknya jual-beli data personal kependudukan di media sosial.
Zudan mengatakan 'pemulung' data personal tersebut tak mendapatkan data kependudukan dari Kemendagri. Dia mengatakan masyarakat bisa melapor ke pihak Dukcapil lewat call center 1500-537 jika menemukan kasus serupa. Masyarakat juga bisa melapor ke akun Facebook dan Instagram Ditjen Dukcapil Kemendagri.
Dalam kesempatan ini, Hendra pun memaparkan modus-modus yang dilakukan pelaku mengumpulkan data personal. Pengetahuan itu didapatkan Hendra setelah masuk ke grup Facebook bernama 'Dream Market Official'.
Hendra memutuskan masuk ke grup tersebut setelah temannya jadi korban penipuan saat hendak membeli tiket pesawat. Senada dengan Zudan, Hendra mengatakan data tersebut didapat pelaku dengan cara mencuri.
"Jadi data-data NIK, KTP, dan KK yang ada di sana itu sebenarnya bukan dari pemerintah, tapi mereka teh nyuri sendiri," kata Hendra.
![]() |
Cara pertama yang dilakukan pelaku adalah lewat situs jual-beli online. Dalam transaksi, pelaku meminta korban mengirimkan data pribadi berupa data pribadinya.
"Jadi dia minta KTP dan selfie KTP, saling bertukar. Pelaku juga mengirim selfie KTP-nya, tapi selfie yang dipakai pelaku itu adalah data orang lain juga," kata Hendra.
Kedua, modus lowongan kerja. Para pemulung data kependudukan itu melakukan hal yang sama, yakni meminta foto selfie e-KTP korbannya. Cara ketiga, pelaku lewat aplikasi 'Cek KTP' juga meminta foto korban dengan e-KTP.
Sementara itu, modus keempat adalah modus pinjaman dana yang ditawarkan via SMS. "Dari SMS yang suka spam ke nomor kita, menawarkan pinjaman dana, nanti kalau kita balas, jaminannya nggak ada, cuma disuruh kirim KTP, dari situ juga bisa," kata Hendra.
Kadang, pelaku juga bisa bergerak ke rumah-rumah calon korban menawarkan beras tapi dengan syarat calon korban bersedia menunjukkan KTP-nya.
Modus-modus tersebut dipakai pelaku hingga akhirnya data personal korban diperjualbelikan. (jbr/zak)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini