Pengakuan ini terungkap di sidang lanjutan pungli terhadap korban tsunami di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Jl Serang-Pandeglang, Selasa (23/7/2019). Saksi Mulyadi merupakan PNS rumah sakit dan bertugas sebagai pelaksana forensik rumah sakit.
Mulyadi mengatakan tiga hari pascatsunami Selat Sunda atau pada Senin, 24 Desember 2018, terkumpul uang Rp 46 juta dari hasil pungli terhadap korban. Uang itu ia terima dari terdakwa Tb Fathullah sesama PNS di RSDP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ditanya kenapa ada uang tersebut, saksi menjawab bahwa itu atas perintah Saudara Amran selaku PNS di RSDP dan menjabat kepala ruangan forensik. Uang tersebut ia simpan di meja administrasi forensik.
Uang Rp 46 juta itu juga, katanya, diusulkan oleh Amran untuk digunakan sebagai kegiatan operasional tim forensik.
"Setahu saya, Pak Amran mengusulkan untuk (uang kegiatan) operasional, megang masing-masing, takut kedatangan jenazah lagi, jadi (uang) bisa dipergunakan," ujarnya.
Namun usulan itu, katanya, sempat ditolak oleh dr Budi selaku dokter forensik. Uang sebanyak itu, lanjutnya, kemudian digunakan untuk membayar peti jenazah sebesar Rp 14 juta. Sisanya, ia mengaku dikembalikan kepada terdakwa Fathullah untuk dijadikan kas rumah sakit.
JPU juga mencecar saksi soal apakah petugas forensik RSDP tahu bahwa korban bencana alam digratiskan dari pembiayaan. Selain itu, ada Peraturan Bupati Nomor 46 Tahun 2013 bahwa pengawetan jenazah dan pemandian jenazah dalam kondisi bencana ditanggung oleh negara.
"Tidak tahu (gratis). (Soal perbub) di sistem ada," ujarnya.
Saksi juga mengatakan kuitansi yang dikeluarkan untuk pungutan korban tsunami menyalahi aturan. Kuitansi itu tidak masuk ke dalam sistem rumah sakit.
"Menyalahi aturan, salah," ujarnya. (bri/idn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini