Saksi Leonardo saat dihadirkan JPU memberi kesaksian ia harus menunggu berjam-jam untuk mengambil jenazah Satria Sinaga dan Rospita Simbolon. Leonardo mengatakan, saat tsunami terjadi pada 22 Desember 2018, ia membawa jenazah ini ke RSDP Serang.
"Saya bawa ke rumah sakit, saya lihat waktu itu pukul 18.00 WIB. Langsung dibawa ke kamar mayat," kata saksi Leonardo saat ditanya JPU di PN Serang, Jl Pandeglang-Serang, Senin (1/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di situ, ia meminta pihak forensik memandikan jenazah dan memberikan formalin. Korban rencananya akan dibawa ke Jakarta.
Namun, lanjutnya, 2 jenazah tadi baru bisa dikeluarkan keesokan harinya pada pukul 06.00 WIB. Itu pun setelah ia berdebat dengan salah satu dokter dan melihat jenazah lain bisa dikeluarkan.
"Saya sabar-sabar, saya duluan masuk kok yang lain keluar. Keluarga saya nggak dipegang-pegang. Saya tanya, kenapa? Saya mau bawa ini keluarga saya, tolong dong Pak kita lagi berduka," ujarnya.
Dari situ, ia kemudian bertanya kepada salah satu dokter apakah untuk mengeluarkan jenazah harus membayar. Ia lalu disodori kertas berisi rincian pembiayaan, dari pemulasaraan, biaya ambulans, hingga formalin.
"Total saya Rp 5,2 juta," katanya.
Saksi Sumardi juga bercerita bahwa ia dikenai pungutan Rp 800 ribu untuk mengambil jenazah Timoty Simbolon. Saat itu ia diminta menyediakan uang untuk surat jalan kepada terdakwa Fathullah.
"Kita dipanggil ke sebelah ruang mayat, diminta Rp 800 ribu. Katanya jenazah silakan pulang, ini suratnya dan bayar sejumlah itu," ujarnya.
Karena waktu itu sedang berduka, ia tidak sempat bertanya untuk apa biaya itu dikeluarkan.
"Kita yang penting mikir cepat pulang," ujarnya.
Terdakwa Tb Fathullah, staf RSDP Serang Budiyanto, dan Indra Maulana selaku karyawan CV Nauval Zaidan didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 35 ayat 22 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Tipikor.
(bri/idn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini