Meski demikian, kata Basarah, secara ideologis dan politis, hal itu masih meninggalkan berbagai masalah yang harus segera diselesaikan. Salah satunya fenomena pembelahan atau segregasi di tubuh masyarakat, baik karena perbedaan afiliasi politik capres maupun perbedaan dengan latar belakang keyakinan SARA dan ideologi.
"Segregasi tidak hanya terjadi di pendukung 01 dan 02, melainkan sudah mengarah pada upaya pembelahan antar golongan dalam masyarakat. Sebagai contoh pertentangan Pancasila vs khilafah, negara vs agama, TNI vs Polri, TKN vs BPN," ujar Basarah dalam keterangannya, Senin (1/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena tersebut memberi dampak pada Pancasila sebagai ideologi bangsa yang berada dalam posisi terancam. Terlebih fenomena terkini, kita temukan adanya fragmentasi di sebagian masyarakat yang masih mempertentangkan antara Pancasila dan negara serta antara Islam dan kebangsaan.
Padahal, kata Basarah, sejak konsensus final Pancasila pada 18 Agustus 1945, Pancasila resmi menjadi milik bangsa Indonesia, bukan milik golongan ataupun rezim.
"Ketika kita sibuk mempertentangkan Islam dan Pancasila, padahal keduanya sudah final, justru dua ideologi transnasional, fundamentalisme agama, serta paham liberalisme dan fundamentalisme pasar tengah melakukan eksperimen dengan gencar di Tanah Air," tuturnya.
"Faktanya, menurut BPNT, ada 7 kampus negeri terpapar radikalisme, kemudian data Kemendagri menyebut 19,4% ASN terpapar radikalisme, selanjutnya 3% TNI menurut penjelasan Menteri Pertahanan juga terpapar radikalisme, dan BNPT menyebut 2 juta pegawai BUMN berpotensi kuat terpapar ideologi transnasionalisme," ungkap Basarah
Di sisi lain, liberalisme dan fundamentalisme pasar yang mengagungkan kebebasan atas nama hak asasi manusia juga bekerja masif di Indonesia. Sebagai contoh, propaganda gaya hidup bebas, narkoba, dan mungkin suatu saat akan menuntut legalisasi perkawinan sejenis di Indonesia.
(idr/idr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini