Pakar Tata Negara: UUD 1945 Tidak Mengenal Istilah Oposisi

Pakar Tata Negara: UUD 1945 Tidak Mengenal Istilah Oposisi

Alfi Kholisdinuka - detikNews
Senin, 01 Jul 2019 19:24 WIB
Foto: MPR
Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Juanda menilai dalam Undang Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dikenal istilah oposisi. Yang ada adalah fungsi oposisi, sebagai kelompok penyeimbang pemerintah. Dan itu dilakukan oleh partai di luar penguasa, beserta civil society.

"Ada gejala, kelompok penyeimbang ini akan semakin kecil setelah beberapa partai Koalisi Adil Makmur menyeberang. Kondisi seperti ini sebenarnya patut disayangkan, karena kekuasaan yang menumpuk dalam satu tangan namanya tirani," kata Juanda dalam keterangannya, Senin (1/7/2019).

Kalau benar kelompok penyeimbang itu hanya dilakukan PKS dan Gerindra atau sebesar 22 persen, menurutnya akan kurang efektif. Karena jumlah kelompok pendukung pemerintah sangat besar mencapai 78 persen. Karena itu, ia berharap partai-partai yang mendukung Prabowo-Sandi tetap pada posisinya sebagai penyeimbang pemerintah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini memperlihatkan kondisi demokrasi yang tidak sehat, sekaligus menunjukkan bahwa elit politik belum menunjukkan sikap konsisten dalam mengambil pilihan politik. Padahal, kalau Partai yang tergabung dalam Koalisi Adil Makmur eksis seperti dukungannya pada pemilu, hal itu akan menyehatkan demokrasi kita," kata Juanda


Sementara itu, Anggota Fraksi PKS MPR RI Mardani Ali Sera menegaskan keputusan partainya untuk menjadi oposisi atau tidak merupakan kewenangan Majelis Syuro PKS. Karena itu, ia tidak berani mendahului sikap partai apakah akan mendukung atau menjadi kekuatan peyeimbang bagi Pemerintah.

Yang pasti, kata Mardani, berdasarkan masukan para kader, pendukung dan masyarakat, sebagian besar mengharapkan PKS bisa istikhomah menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintahan untuk melaksanakan fungsi check and balance, sebagai oposisi yang kritis dan konstruktif.

"Oposisi itu pilihan sikap yang mulia. Bahkan, sekecil apapun jumlahnya, jika dia melakukannya secara cerdas, maka bisa efektif. Lihatlah kisah cicak versus buaya, siapa menyangka cicak akan menang. Tapi karena rakyat mendukung, maka hasilnya bisa lain," ujarnya

Mardani menilai dalam berpolitik para elit perlu menjaga etika dan rasionalitas. Tanpa etika dan rasionalitas, demokrasi akan terhenti di tengah jalan. Karena itu, ia tetap berharap pasca pemilu, Prabowo bisa bertemu dengan Joko Widodo, sekaligus menyatakan akan menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah.


"Kalau semua Partai mendapat jatah kursi, ini namanya akuisisi, bukan rekonsiliasi. Kalau tidak ada oposisi, publik akan merugi, dan itu akan melahirkan neo orde baru," imbuhnya



Simak Juga 'Usai Putusan MK, Tensi Politik Masih Tinggi?':

[Gambas:Video 20detik]




(idr/idr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads