Jakarta - Ulah koruptor dari balik jeruji kerap menjadi sensasi. Teranyar adalah
Setya Novanto, yang ketahuan pelesiran hingga membuatnya dipindah ke rumah tahanan (rutan) khusus narapidana perkara terorisme di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.
Mulanya, selepas pelesiran Novanto itu, KPK ikut angkat bicara. KPK mengusulkan koruptor dipindahkan saja ke Pulau Nusakambangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di bulan Juni 2019 ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, di antaranya, pertama, usulan nama narapidana korupsi yang akan dipindahkan ke Lapas Nusakambangan," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah pada Senin, 17 Juni 2019.
 Wapres Jusuf Kalla (Noval/detikcom) |
Namun rupanya kelakuan 'bandel' Novanto itu, disebut Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), belum tentu sama dengan koruptor-koruptor lain. "Ada satu-dua yang tidak disiplin, tapi sebagian besar disiplin," kata JK di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2019).
Meski sebelumnya berpendapat tidak semua koruptor seperti Novanto, JK tetap diplomatis. Baginya, siapa pun yang tidak disiplin, akan ada sanksi yang menanti.
"Yang tidak disiplinlah yang tentu ada sanksinya. Tapi, kalau yang disiplin..., kan tidak semua seperti Novanto. Lebih banyak yang disiplin daripada yang tidak disiplin. Jangan disamaratakan," imbuh JK.
Benarkah koruptor yang 'bandel' hanya Novanto?
Setidaknya kelakuan-kelakuan koruptor di
Sukamiskin terungkap dalam persidangan perkara dugaan suap pada mantan Kalapas Sukamiskin Wahid Husein pada awal tahun ini. Misalnya tentang mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin, yang diyakini jaksa KPK dalam surat dakwaannya bisa singgah di rumah mewah di kawasan Dago, Bandung.
"Saudara saksi
ngontrak rumah di Dago itu untuk apa?" tanya jaksa kepada Fuad, yang duduk sebagai saksi dalam sidang lanjutan Wahid di Pengadilan Tipikor Bandung pada Rabu, 6 Februari 2019.
Fuad mengaku menyewa rumah itu untuk istrinya agar lebih dekat dari Lapas Sukamiskin, tempat dirinya menjalani hukuman pidana. Selain itu, Fuad mengaku dua anaknya bersekolah di Bandung.
"(Rumah di Dago) punya saudara, saya
ngontrak," jawab Fuad saat itu.
 Fuad Amin (Ari Saputra/detikcom) |
Dalam dakwaan Wahid, Fuad disebut beberapa kali mengajukan izin keluar dari Lapas Sukamiskin dengan alasan berobat di Rumah Sakit Dustira, Cimahi. Namun Fuad menyalahgunakan izin tersebut untuk singgah di rumah mewah di Jalan H Juanda 175, Dago, Bandung.
Kejadian ini disebut salah satunya terjadi pada 21 Maret 2018. Fuad menginap di rumahnya setelah keluar dari Lapas Sukamiskin menggunakan ambulans hingga RS Hermina Bandung. Setiba di RS Hermina, Fuad pindah ke mobil lain dan pergi bermalam di rumah mewahnya.
Selain urusan itu, Fuad mengakui sering memberikan fasilitas atau uang kepada ajudan Wahid yang bernama Hendry Saputra. Fuad mengaku terbiasa menolong orang lain.
"Betul, saya pernah
ngasih Rp 5 juta (ke Hendry), tapi saya nggak ingat peruntukannya untuk apa. Seingat saya
cash," kata Fuad, masih dalam sidang itu.
Bagaimana dengan kelakuan koruptor lain?
Masih dalam persidangan itu, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan mengaku sering berobat menggunakan mobil pribadi. Wawan mengklaim hal itu dibolehkan oleh Lapas Sukamiskin.
Hal itu diungkapkan Wawan dalam persidangan pada Rabu, 30 Januari 2019. Dalam persidangan itu, Wawan, yang sejak 2015 menghuni Lapas Sukamiskin, mengaku pernah izin berobat selama lima kali ke beberapa rumah sakit, baik di Bandung maupun di luar kota.
Menurut Wawan, saat berobat ke luar kota tersebut, ia memang menggunakan mobil pribadi. Dia mengakui awalnya dari lapas menggunakan ambulans, lantas berpindah ke mobil pribadi di Rumah Sakit Hermina. Wawan mengatakan penggunaan mobil pribadi ini sudah biasa dilakukan dan diperbolehkan pihak lapas lantaran ketersediaan ambulans yang minim.
"Karena ambulansnya cuma satu, biasanya pakai mobil sendiri. Saya tahu ada teman berobat ke Hermina, kebetulan lewat saja jadi di situ (pindah mobil)," kata Wawan yang menambahkan tidak pernah memberikan uang kepada pihak lapas.
Tak hanya soal pelesiran. Dalam sidang itu juga terungkap koruptor bisa memesan sel sebelum dieksekusi. Adalah Fahmi Darmawansyah--yang juga hasil jeratan KPK--mengaku membayar sel hingga Rp 700 juta kepada broker yang juga napi di Lapas Sukamiskin.
"Jadi kalau mau dapat kamar,
booking dulu. Dari informasi itu, mengutus orang ke Sukamiskin mengecek, ternyata benar," ujar Fahmi dalam persidangan pada Rabu, 6 Februari 2019.
"Dari situ dikasih DP Rp 100 juta setelah itu melalui transfer Rp 600 juta. Begitu saya masuk (ke Lapas Sukamiskin) sudah dapat fasilitas," ucap Fahmi tanpa menyebut aneka fasilitas tersebut.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini