"Seperti yang tadi sempat saya katakan sebenarnya pertama saya ada ekspektasi yang sangat besar sekali pada saat seorang Jokowi menyampaikan sebuah sensasi dengan revolusi mental," ujarnya dalam diskusi Kedai Kopi bertema 'Siapa Bisa Baca Jokowi' di Upnormal, Jl Raden Saleh, Jakarta Pusat, Kamis (20/6/2019).
Namun, di sisi lain, Nova memaklumi hal tersebut. Ia mengaku infrastruktur Indonesia masih belum lengkap sehingga Jokowi lebih mengedepankan terhadap pembangunan itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan, di pemerintahan ke depan, Jokowi harus kembali kepada jargon awal yang hendak mewujudkan revolusi mental. Apalagi rencana Jokowi di pemerintahan selanjutnya untuk membangun sumber daya manusia berkualitas.
"Tapi saat ini saya rasa sudah cukup. Beliau harus tetap berpegang teguh kepada jargon yang sudah dia tawarkan, revolusi mental atau akan dianggap plinplan atau dianggap asal bunyi tidak tahu apa dari esensi revolusi mental itu sendiri," katanya.
Nova menilai SDM yang berkualitas itu tentunya harus didampingi dengan kekuatan mental dalam diri seseorang. Ia menilai, dari hasil penelitiannya, mental generasi muda saat ini masih belum cukup kuat.
"Itu mudah saja sebenarnya, saya membayangkan revolusi ini menjadi sendi-sendi produktivitas dari SDM yang akan datang. SDM yang sehat juga secara mental," katanya.
"Karena saya pernah melakukan pendataan di DKI Jakarta saja generasi milenial usia di bawah 19 tahun itu mempunyai potensi ide bunuh diri sampai 19,5 persen di DKI lo. Respondennya 941 waktu itu," lanjut Nova.
Seperti diketahui, jargon 'revolusi mental' digaungkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi)-JK sejak masa kampanye Pilpres 2014. Setelah terpilih, Jokowi kemudian menuangkan kebijakannya dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental yang ditandatangani pada Desember 2016.
Simak Juga "BPN Sebut Revolusi Mental Jokowi Tak Berjalan":
(eva/gbr)