"Sementara di Jakarta sampai hari ini masih ada hiruk-pikuk, alhamdulillah warga NU dengan kiai-kiai pesantren tidak terganggu oleh hiruk-pikuk itu. Silakan. Yang ribut, silakan," kata Said di kantor PBNU, Jalan Kramat Raya No 164, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (23/5/2019).
Meski demikian, PBNU, menurut Said, sangat prihatin atas adanya kericuhan tersebut, apalagi di bulan suci Ramadhan. Dia berharap semua pihak merenung untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PBNU menyampaikan keprihatinan yang sangat mendalam atas kericuhan yang terjadi pada 21-22 Mei. Saatnya bagi kita untuk bermuhasabah, memandang ke dalam diri kita sendiri atas apa sesungguhnya yang terjadi pada kita," jelasnya.
Said dalam sambutannya juga bicara bahaya jika agama tidak dipahami dengan benar. Dia kemudian mengaitkan hal itu dengan fenomena yang sedang berkembang di masyarakat.
"Agama tidak dilakukan dengan tafaquh, tahu-tahu menjadi ulama menjadi ustaz. Bahkan artis yang baru tobat langsung menyalahkan yang lain. Dikira dia sudah mencapai maqom (derajat) yang tinggi, sudah seratus persen salihah, salih, maka yang lain ini, hah, 'setengah Islam ini', 'setengah kafir' barangkali kita ini. Yang tobat itu, yang artis, yang tadinya buka aurat langsung tutup aurat, hijrah, sangat-sangat berbahaya kalau dibiarkan," jelasnya.
![]() |
Menurut Said, ulama haruslah mumpuni dan menguasai bidangnya. Ulama haruslah paham Alquran dan tafsirnya, sehingga nantinya bisa memberikan pengarahan dan bimbingan kepada umat agar tetap di jalan yang benar. Ulama harus hadir di tengah-tengah masyarakat.
"Belakangan ini terjadi pemahaman keagamaan yang tidak berdasarkan pada ilmu, sehingga pengetahuan yang dimiliki itu tidak berbuah akhlak yang mulia, malah sebaliknya, melahirkan tindakan-tindakan yang jauh dari nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh agama. Agama harusnya bisa dijadikan sebagai nilai untuk menciptakan harmoni. Prinsip nilai untuk menciptakan keharmonisan. Agama mengedepankan nilai-nilai moderasi, nilai moderasi melahirkan kearifan," ujar Said.
"Hari-hari ini yang terjadi justru sebaliknya, ada orang beragama merasa dirinya paling benar, paling baik, paling sempurna. Sebaliknya, semua yang berbeda dengan dirinya dianggap keliru dan salah, ahli bid'ah, sesat, bahkan sampai kafir. Kondisi seperti ini meruntuhkan bangunan persaudaraan kebangsaan, ukhuwah wathaniyyah, yang telah lama dibangun para pendiri bangsa. Maka belajar agama harus dengan bimbingan guru. Ketika agama dipelajari lewat bimbingan guru, output yang dihasilkan adalah pribadi-pribadi yang bisa memainkan dua peran sekaligus, yaitu peran agama, tafaqufiddin. Sekaligus menjadi pemimpin masyarakat," sambung Said.
Selain itu, Said menyinggung soal adanya perbedaan dalam berbagai hal yang terjadi di masyarakat. Dia mengatakan, perbedaan harus diselesaikan dengan baik dan bijaksana. Cara-cara yang tidak bijaksana harus dihindari.
"Segala perbedaan harus didialogkan. Bukan justru memaksakan kehendak dan melakukan hal-hal yang bisa mencederai kemanusiaan," ujar Said.
"Kami prihatin, belakangan ini begitu marak kecenderungan politisasi agama, sehingga kalimat-kalimat tayiban (baik), yang seharusnya dijadikan alat mendekatkan diri kepada Allah, justru dijadikan instrumen kepentingan politik," sambungnya. (hri/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini