"Kenapa kita mendatangi Komnas HAM, karena kita sangat yakin dan percaya terhadap institusi lembaga ini Komnas HAM yang didirikan melalui UU terkait dengan lembaga negara yang independen untuk mengawasi memantau situasi pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia ini apakah sudah tercapai atau tidak. Salah satunya adalah terkait persoalan hak asasi manusia yang menimpa klien kami di Polda Jateng," kata salah satu tim kuasa hukum TT, M Afif Abdul Qoim, di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (20/5/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Poin yang kedua, tadi kita diterima oleh salah satu komisioner Komnas HAM Ibu Sandrayati Moniaga terkait dengan pengaduan kita yang sudah diajukan pada bulan April yang tadi baru ditindaklanjuti dengan segera oleh Ibu Sandra dan kita juga meminta kesediaan Komnas HAM untuk menjadi salah satu ahli dan memberikan keterangan tertulis pada saat nanti di persidangan pembuktian untuk memperkuat argumentasi kita terkait dengan gugatan pemecatan klien kita yang dituduh orientasi seksual yang berbeda. Nah kita melihat itu persoalan hak asasi manusia makanya kita juga meminta komisioner Komnas HAM untuk datang dan mensupport gugatan kita," imbuh Afif.
Terkait permintaan itu, Afif menyebut Komnas HAM masih merundingkannya. Dia berharap Komnas HAM segera memutuskan datang atau tidaknya di persidangan.
"Dari Komnas HAM merundingkan dulu di internalnya dan itu butuh waktu. Tapi dia memberikan garansi, ya mudah-mudahan dalam waktu cepat tidak terlalu lama keputusannya akan segera dikabarkan kepada kita," ujarnya.
"Ini gugatannya sudah diajukan per bulan Maret dan ini sudah masuk agenda sidang pokok perkaranya. Minggu lalu sudah masuk ke agenda replik dan besok hari Kamis itu agendanya jawaban dari Polda (Jateng) seperti apa atas ungkapan dari kita," sambung dia.
Afif juga menepis kabar yang menyebut kliennya melakukan pelecehan seksual dan disersi. Menurut Afif, alasan pemecatan yang disampaikan terkait pemecatan TT itu merupakan alasan template.
"Jadi gini, saya dengar bahwa Mabes Polri juga melakukan klarifikasi atas pemecatan klien kita itu karena permasalahan orientasi seksual yang berbeda. Bahwa persoalannya bukan karena itu, tapi persoalan bahwa dia sudah bolos kerja selama beberapa hari, kemudian bepergian keluar negeri juga, terus pernah melakukan tidak pidana. Nah saya pikir ini merupakan alasan template yang dicopypaste dari aturan oleh seorang perwira polisi di Mabes Polri. Karena kalo seorang perwira polisi yang memiliki kemampuan analitis, dia harusnya membaca kasusnya ini secara detail. Koordinasi dengan Polda Jateng bagaimana kronologis kasusnya itu bermula, apa yang terjadi pada saat pemeriksaan. Karena pada saat pemeriksaan atas tuduhan-tuduhan itu, tuduhan itu tidak pernah terbukti," ujar dia.
Bantahan juga disampaikan oleh tim kuasa hukum TT yang lain, Ma'ruf Bajammal. Menurut Ma'ruf, laporan tentang penyimpangan seksual ini dibuat oleh anggota sendiri dan bukan dari masyarakat.
"Kami mengklarifikasi bahwa tidak benar ketika klien kami itu dikatakan melakukan pelecehan seksual ataupun klien kami dikatakan meninggalkan tugas atau disersi. Itu tidak benar. Itu memang dari awal problem diadukan karena melakukan perbuatan menyimpang. Laporannya itu dibuat oleh anggota sendiri bukan masyarakat yang kemudian dikatakan bahwa di sini ada korban itu sama sekali tidak benar," ujar dia.
Ma'ruf mengatakan kondisi TT saat ini sangat baik. TT disebut Ma'ruf menjadikan kasus pemecatannya sebagai pelajaran dan koreksi agar polisi lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas.
"Untuk saat ini beliau dalam kondisi yang baik-baik saja dan kemudian memang kami pun bersama-sama beliau memaknai upaya ini harus dijadikan koreksi untuk institusi kepolisian agar ke depan lebih berhati-hati kepada menjalankan tugas dan kewajibannya," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, TT dipecat Polda Jawa Tengah karena orientasi seksualnya yang menyukai sesama jenis, dalam hal ini gay. Terkait pemecatan TT, pengacara menyebut ada diskriminasi dari Polda Jateng.
"Pemeriksaan itu dilakukan tidak ada laporan tuduhan. Baru tanggal 16 Maret 2017 ada laporannya. Jadi diperiksa dulu baru ada laporannya, itu pun bukan laporan masyarakat," jelas Kuasa Hukum TT dari LBH Masyarakat, Maruf Bajammal saat dihubungi detikcom, Kamis (16/5).
Selanjutnya, pada 18 Oktober 2017, TT dinyatakan melanggar Peraturan Polri tentang kode etik, yaitu Perkap No 14 Tahun 2011, dan hasilnya adalah pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Surat keputusan PTDH turun pada 27 Desember 2018.
Atas PTDH itu, TT melakukan upaya banding ke komisi banding tapi ditolak. Pria asal Blora itu pun masih melakukan upaya lain dengan menggugat Polda Jateng, dalam hal ini Kapolda. Gugatan dilakukan di PTUN Semarang pada 26 Maret 2019 dan masih berjalan hingga saat ini.
Polri sendiri telah menegaskan perilaku gay termasuk melanggar norma agama dan kesopanan serta melanggar Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan seorang anggota Polri wajib mematuhi dan taat pada UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Aturan tersebut memang tidak memuat aturan khusus soal gay. Namun Polri menilai perilaku gay bertentangan dengan norma agama dan kesopanan.
"Pada norma agama dan kesopanan jelas bahwa LGBT masih menjadi hal yang tabu oleh agama dan tidak diakui secara yuridis oleh negara, sehingga dari hal tersebut tersirat bahwasanya anggota Polri tidak boleh LGBT dan memiliki kelainan atau disorientasi seksual," tegas Dedi di kantornya, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (17/5). (knv/hri)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini