"Wacana people power saat ini tidak tepat. Sebab, tidak ada kondisi yang memungkinkan people power dapat terwujud, yakni pemerintahan otoriter, represif, serta krisis ekonomi," kata Gayus kepada detikcom, Minggu (12/5/2019).
Wacana pengerahan kekuatan rakyat atau people power yang ada saat ini, yang digaungkan oleh sekelompok orang, cenderung mengarah ke gerakan makar. Sebab, gerakan people power tidak ditujukan untuk keadilan masyarakat, tetapi lebih didasari oleh hasutan pihak tertentu untuk menyimpang dari hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencontohkan, Pasal 9 ayat 1 UU tersebut memberikan batasan tempat-tempat yang tidak boleh dilakukan penyampaian pendapat yaitu di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan objek-objek vital nasional, serta pada hari besar nasional. Selanjutnya, Pasal 15 juga menentukan bahwa pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat dibubarkan.
"Selain itu, UU tersebut mengadopsi International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR) yang memberikan limitasi, yaitu mengganggu ketertiban publik, jangan mengganggu hak asasi, etika, dan moral. Keempat, tidak boleh mengancam keamanan nasional," cetus guru besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Jakarta itu.
Makar bertujuan menumbangkan pemerintahan yang sah hingga memecah belah bangsa. Oleh sebab itu, penegakan hukum terhadap pelaku makar harus tegas. Sebab, bila tidak, yang rugi adalah rakyat.
"Perbuatan makar sangat erat berkait dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, segala upaya yang menjurus kepada upaya memecah belah persatuan bangsa dan negara harus ditangani dengan tegas. Kerugian yang sangat besar akan ditanggung oleh rakyat apabila ketentuan perundangan tentang makar 'lemah'," kata Prof Hibnu Nugroho.
Tonton juga video Beda Pendapat BPN dan TKN soal People Power:
(asp/rvk)











































