Untuk memenangi pertarungan di salah satu forum arbitrase paling bergengsi itu, 10 lembaga pemerintah bahu-membahu menangkis gugatan-gugatan itu. Pemerintah menggandeng pengacara dari FAMS&P Lawyers dan mitra pengacara dari Inggris, Simmons & Simmons LLP.
"Sebagai profesional, kami baru merasakan teamwork dari pemerintah yang sangat profesional dan kondusif," ujar pengacara dari FAMS&P Lawyers, Dr Teddy Anggoro, saat berbincang dengan detikcom, Selasa (9/4/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teddy, yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), menyatakan proses penunjukan timnya oleh pemerintah tidaklah mudah. Mereka diseleksi dengan model semacam 'beauty contest' dengan proses yang fair.
"Kami diminta memaparkan, presentasi, dan sebagainya," ujar Teddy.
Setelah lolos dan mendapatkan kuasa dari pemerintah pada November 2016, FAMS&P Lawyers bekerja maksimal. Hingga akhirnya sidang arbitrase digelar di Den Haag sejak 2018 dan Indonesia akhirnya menang pada akhir Maret 2019.
"Kemenangan ini atas kerja sama tim, baik dari tim pemerintah yang dipimpin Kejaksaan Agung dengan tim kuasa hukum yang ditunjuk, sehingga setiap isu yang dituduhkan oleh IMFA dapat dijawab dengan meyakinkan dan dasar bukti yang kuat," kata pengacara dari FAMS&P Lawyers lainnya Acep Sugiana.
Dalam gugatannya, IMFA mendalilkan adanya tumpang tindih IUP tambang di Kalimantan Selatan. IMFA mengklaim pemerintah RI telah melanggar BIT India-Indonesia dan mengklaim Pemerintah RI untuk mengganti kerugian kepada IMFA sebesar USD 469 juta atau sekitar Rp 6,68 triliun.
Dalam putusannya, majelis tribunal menolak seluruh gugatan IMFA.
"Menolak seluruh klaim IMFA karena IMFA terbukti tidak berhati-hati dalam berinvestasi dan merupakan spekulan investor. Menghukum IMFA membayar seluruh biara dan pengeluaran pemerintah Indonesia sebesar USD 2,9 juta dan GBP 361.247," ujar Acep, yang juga mantan hakim. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini