Angka Kekerasan Tinggi, 10 Lembaga Deklarasikan Komite Keselamatan Jurnalis

Angka Kekerasan Tinggi, 10 Lembaga Deklarasikan Komite Keselamatan Jurnalis

Rolando - detikNews
Jumat, 05 Apr 2019 19:59 WIB
Deklarasi Komite Keselamatan Jurnalis di gedung Dewan Pers, Jumat (5/4). (Foto: Dok. AJI)
Jakarta - Kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih tergolong tinggi. Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat, pada 2018, ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

"Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus), paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu," kata Ketua Bidang Advokasi AJI, Sasmito Madrin, lewat keterangannya, Jumat (5/4/2019).


AJI mengategorikan kekerasan terhadap jurnalis meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. AJI menduga kondisi kekerasan yang terus meningkat salah satunya disebabkan lemahnya penegakan hukum oleh aparat kepolisian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagian kasus kekerasan ataupun pemidanaan jurnalis terkait langsung dengan kontestasi politik, baik di level nasional maupun di daerah. Kontestasi politik turut mempengaruhi iklim kebebasan pers di Indonesia.

Merespons situasi ini, dibentuklah Komite Keselamatan Jurnalis, yang deklarasinya dilakukan di gedung Dewan Pers, Jumat (5/4) ini. Komite ini diinisiasi dan beranggotakan AJI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, serta Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi).


"Secara khusus, komite ini bertujuan untuk menangani kasus kekerasan jurnalis dengan menyediakan skema pendanaan atau safety fund journalists. Para inisiator dan pendiri komite telah menyusun standard operational procedure (SOP) yang akan menjadi pedoman dalam penanganan dan pencegahan kasus kekerasan jurnalis dan pekerja media agar tidak terulang kembali," kata Sasmito.

Reporter Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, pada 2018 menempatkan Indonesia di peringkat ke-124 dari 180 negara. Peringkat ini sama dengan tahun lalu, yang berarti posisi Indonesia ada di papan bawah.


Posisi Indonesia memang masih lebih baik dibanding Filipina (133), Myanmar (137), Kamboja (142), Malaysia (145), Singapura (151), Brunei (153), Laos (170), dan Vietnam (175). Namun Indonesia ada di bawah Timor Leste, yang menempati peringkat ke-93.

Dalam pemeringkatan yang dilakukan Reporter Without Borders, ada tiga aspek yang menjadi tolok ukur dalam menilai kondisi kebebasan pers sebuah negara. Ketiganya adalah iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi. Iklim hukum menyoroti aspek regulasi sebuah negara terhadap kebebasan pers. Sedangkan aspek politik menyoroti kebijakan yang berdampak terhadap kebebasan pers. Yang termasuk bagian ini adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Iklim ekonomi menyoroti lingkungan ekonomi negara yang berdampak pada kebebasan pers. (jbr/fdn)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads