Bawaslu Minta Masyarakat Lebih Berani Laporkan Politik Uang

Bawaslu Minta Masyarakat Lebih Berani Laporkan Politik Uang

Rolan - detikNews
Rabu, 27 Mar 2019 18:24 WIB
Diskusi yang dihadiri anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar. (Rolan/detikcom)
Jakarta - Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar menilai masyarakat masih segan untuk menjadi saksi kasus politik uang. Menurut Fritz, rasa segan itu muncul karena masih ada hubungan kekerabatan antara pelapor dan terlapor.

"Ada beberapa permasalahan terkait politik uang. Pertama adalah siapa yang mau jadi saksi. Itu salah satu persoalan karena politik uang itu dilakukan oleh orang terdekat, orang terdekat ini masih punya hubungan kekerabatan, hubungan organisasi, atau kesukuan. Jadi kalo pun mereka mau melapor, mereka segan untuk melapor," ujar Fritz dalam diskusi 'Awas, Politik Uang di Pemilu 2019", di Kekini Cikini, Jl Cikin Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, (27/3/2019).

Fritz mengaku Bawaslu siap menerima segala laporan masyarakat terkait politik uang. Namun, untuk memulai proses laporan tersebut, Bawaslu perlu bukti dan saksi dari masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mungkin Bawaslu siap tentu apabila ada laporan, kita ubah jadi temuan. Ketika kita mulai proses kan tentu harus ada bukti-bukti, ada barang yang diberikan, atau saksinya. Bawaslu tidak bisa jadi saksi karena kita jadi penemu, tapi kan ada orang lain 'saya melihat dia ngasih ke dia'," kata Fritz.


Menurut Fritz, masyarakat harus meningkatkan keberaniannya untuk melaporkan jika ada politik uang. Dia juga menyinggung untuk para caleg agar siap dicoret dari DCT jika diputuskan pengadilan terbukti melakukan politik uang.

"Menurut kita, masih ada yang harus ditingkatkan, yaitu keberanian masyarakat untuk mau untuk menjadi pelapor. Juga kesiapan dari pada caleg bahwa konsekuensi yang muncul dari 9 putusan itu misalnya, sampai sekarang itu pasal 285 misalnya, yaitu pencoretan dari DCT. Jadi kalo dia terbukti melanggar pasal 280, dan ada putusan dari pengadilan yang inkrah, itu dicoret dari DCT," ucap Fritz.

Di lokasi yang sama, Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyebutkan politik uang menjadi salah satu unsur yang bisa banyak terjadi di pemilu tahun ini.

"Politik uang tentu menjadi salah satu bagian yang jadi unsur pelanggaran yang bisa sangat banyak terjadi di Pemilu 2019, apalagi dalam konteks pileg. Makanya semakin mendekati penghitungan suara, potensinya akan semakin besar bagi terjadi politik uang," sebut Fadli.


Bagi Fadli, dalam jangka pendek, politik uang hanya akan berhenti setelah pemilih menerima uang, sementara transaksi politik seharusnya berjalan selama 5 tahun. Sementara dalam jangka panjang, ini akan jadi lahan subur korupsi.

"Dalam jangka pendek, misalnya, pemilih akan kemudian melakukan transaksinya ketika uang diberikan. Padahal transaksi pemilih dengan terpilih itu 5 tahun jangka waktunya. Namun, dengan politik uang, transaksi antara pemilih dengan peserta pemilu selesai ketika peserta pemilu memberikan uang. Dalam jangka panjang, politik uang ini akan menjadi potensi korupsi, karena biaya politik ini tinggi. Berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan," imbuh Fadli. (gbr/gbr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads