Fahri awalnya menanggapi soal pernyataan Prabowo Subianto yang menyebut lembaga survei banyak bohong dan bekerja sesuai pesanan. Fahri Hamzah mengatakan sebaiknya lembaga survei terbuka ke publik jika memang dibiayai oleh kandidat dan tidak independen.
Fahri menilai kritik Prabowo itu adalah bagian dari misinya untuk menyelenggarakan proses pemilihan yang lebih fair dengan cara mengatur lembaga survei. Dia juga mengaku kesal kepada pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, karena membuat survei yang menurutnya tidak bermutu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, kata Fahri, perlu ada regulasi hingga etika lembaga survei. Sebab, menurut Fahri, survei seperti 'pemilih radikal' itu akan membuat orang takut.
"Nah itu yang saya bilang. Jadi atur moralnya, atur etiknya, atur juga regulasinya supaya jangan gitu. Dia niatnya memang nyerang. Ya terang aja masyarakat kan terbelah. Tapi kemudian mengembangkan opini bahwa 'ini pemilihnya itu radikal', akhirnya bikin takut orang. Ah itu apa begitu?" lanjutnya.
Menurut Fahri, lembaga survei yang membuat propaganda seperti provokator. Dia meminta lembaga survei 'provokator' tidak menyebut diri mereka surveyor.
"Itu bukan kerjaan ilmuwan itu, pekerjaannya provokator. Ya makanya kalau mau jadi provokator, provokator beneran. Jangan bilang surveyor, karena itu nggak independen," ungkapnya.
Denny JA menegaskan LSI tidak menyebarkan propaganda. Namun, potret dari beragamnya pemilih muslim. "Bukan (propaganda), itu potret sosiologis dari pemilih muslim yang beragam itu," kata Denny JA saat dihubungi, Senin (25/3).
Denny JA juga menepis anggapan bahwa survei itu dilakukan untuk mendiskreditkan Prabowo Subianto. Menurutnya, mereka hanya ingin memotret sosiologis para calon pemilih.
"Bukan (mendiskreditkan), itu hanya potret sosiologis. Yang dukung Prabowo di mereka yang Pancasila juga banyak, tapi kalah sama Jokowi, yang dukung Jokowi dari kalangan yang ingin negara seperti Timur Tengah juga ada, tapi kalah sama Prabowo. Kan ada persentasenya di sana. Intinya bilang Fahri Hamzah membaca detail laporan itu," ucap Denny JA.
Denny JA menyebut Fahri Hamzah tidak teliti membaca survei yang dikeluarkannya. Menurut Denny, survei itu untuk menggambarkan ragam pemilih muslim.
"Besar kemungkinan Fahri Hamzah tidak membaca detail survei yang saya buat itu. Karena saya membuat survei untuk menggambarkan aneka nuansa dalam pemilih muslim. Pemilih muslim ini total jumlahnya 85% sampai 87%. Siapa yang menang pada pemilim muslim akan menang pula dalam pemilu," kata Denny JA saat dihubungi, Senin (25/3).
Denny JA menyebut pemilih muslim terbagi dalam beberapa segmen. Denny menyebut pihaknya lantas ingin tahu arah politik para pemilih muslim yang telah terbagi ke sejumlah segmen tersebut.
"Tapi pemilih muslim itu dia di dalamnya itu bersegmen-segmen. Segmen-segmen itu yang ingin saya gambarkan minimal dia bisa digambarkan dalam dua segmen. Pertama, pemilih muslim jika dilihat dari ormas yang mereka merasa bagian dari itu. Kita dapatlah itu komunitas NU, Muhammadiyah, FPI, HTI, reuni 212 sampai juga mereka yang merasa tidak menjadi bagian salah satu ormas," jelas Denny JA.
"Dari pemilih ormas itu kita bagi lagi siapa paling banyak memilih Prabowo, siapa lebih banyak memilih Jokowi. Nah kelihatan hasilnya bahwa ternyata yang ke NU itu lebih banyak milih Jokowi. Yang ke FPI, HTI, lebih banyak milih Prabowo. Yang ke reuni 212 lebih banyak ke Prabowo. Yang Muhammadiyah naik turun, kadang Prabowo paling banyak, kadang Jokowi paling banyak, kadang berimbang. Itu satu segmen," imbuhnya.
Denny JA lantas menjelaskan mengenai segmen kedua pemilih muslim. Ada tiga orientasi politik para pemilih muslim yang menurutnya sudah tercatat sejak 2004.
"Segmen kedua bisa juga pemilih muslim kita lihat dari orientasi politiknya. Maka ada tiga jenis orientasi yang sudah dicatat sejak lama, sejak 2004 sudah kita catat, yaitu mereka yang menginginkan berorientasi pada negara NKRI Pancasila seperti sekarang di Indonesia, atau mereka yang berorientasinya pada demokrasi liberal seperti negara barat, atau mereka yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam seperti Timur Tengah itu. Itu kan faktor sosiologis," beber dia.
"Kenyataannya memang ada yang ingin seperti Pancasila itu 80%, yang ingin demokrasi liberal seperti barat ya 3-5%, yang ingin seperti negara Islam Timur Tengah pun ada sekitar 4-9%," tambah Denny JA.
Dari tiga segmen tersebut, Denny JA dan tim LSI melakukan survei lagi. Dia menegaskan tak pernah mencap respondennya dengan sebutan radikal.
"Nah dari situ kita tanya lagi pada mereka ini cenderung akan milih siapa? Ini datanya mereka yang merindukan NKRI Pancasila lebih banyak yang menang Jokowi. Yang ingin demokrasi liberal lebih banyak yang menang Jokowi. Tapi yang inginkan negara Islam seperti Timur Tengah yang menang Prabowo," tutur Denny JA.
"Kita simpulkan dari dua data itu bahwa mereka yang inginkan Indonesia ini berorientasi negara Islam atau seperti Timur Tengah ya memang ada, lebih ke Prabowo. Mereka yang orientasinya lebih FPI, HTI, reuni 212 itu lebih ke Prabowo. Jadi itu hasil potret, yang nggak ada hubungan dengan radikal, nggak ada itu. Potret sosiologis saja," tegas dia.
Saksikan juga video 'Fahri Hamzah Sebut LSI Denny JA Nggak Mutu!':
(idh/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini