Alih-alih tobat, para terpidana mati itu malah menjadi-jadi dengan mengontrol peredaran sabu. "Kami menyesalkan Jaksa Agung tidak berani eksekusi mati bandar narkoba," kata praktisi hukum Boyamin Saiman kepada detikcom, Jumat (22/3/2019).
Boyamin merupakan pengacara Antasari Azhar dan Suud Rusli di Mahkamah Konstitusi (MK). Antasari mempersoalkan PK pidana hanya satu kali, dan Suud Rusli mempersoalkan batas waktu permohonan grasi. MK memutuskan PK boleh berkali-kali sepanjang ada novum baru, dan grasi boleh diajukan kapan pun.
Menurut Boyamin, putusan MK harus dipahami dengan tepat dan tidak boleh dibelok-belokkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa Agung selalu beralasan tidak melaksanakan eksekusi mati dengan alasan narapidana mati selalu menggunakan celah PK yang boleh berkali kali dan Grasi boleh diajukan kapa npun tidak dibatasi waktu.
"Sikap ini jelas salah dan pengecut," cetus Boyamin.
Menurut MK, PK bisa diajukan berkali-kali namun pengajuan PK tidak menghalangi eksekusi. Sehingga meskipun narapidana mati narkoba mengajukan PK tetap bisa dilakukan eksekusi.
"Apalagi bandar tersebut telah divonis mati namun masih mengulangi perbuatannya," kata Boyamin menegaskan.
Mengenai Grasi yang dapat diajukan kapan pun juga tidak menghalangi eksekusi. UU Grasi menyatakan pengurusan Grasi dibatasi waktu maksimal selama 20 hari ditambah 30 hari ditambah 3 bulan, sama dengan 4 bulan 20 hari. Yaiti pengurusan Pengadilan Negeri (PN) 20 hari, pengurusan Mahkamah Agung (MA) 30 hari dan pengurusan presiden 3 bulan .
Untuk dapat melakukan eksekusi mati terkait Grasi, Jaksa Agung menerbitkan Surat Keputusan daftar narapidana mati yang akan dieksekusi dan diberikan kesempatan untuk mengurus grasi dengan batas waktu 1 bulan dan jika tidak mengajukan Grasi maka langsung dapat dilakukan eksekusi.
Jika narapidana mengajukan Grasi maka ditunggu batas waktu 4 bulan 20 hari untuk mendapat keputusan Grasinya ditolak atau dikabulkan Presiden. Jika ditolak maka langsung dapat dieksekusi mati.
![]() |
"Jaksa Agung harus paham bahaya narkoba tanpa harus menunggu keluarganya menjadi korban narkoba meskipun. Saya berharap tidak ada keluarga Jaksa Agung yang jadi korban Narkoba," kata Boyamin berharap.
Boyamin tidak mau langkahnya ke MK yang membuahkan hasil, malah dibelok-belokkan.
"Saya mengajukan uji materi ke MK adalah dalam rangka membela hak2 narapidana atas kasus yang diduga bernuansa rekayasa (Antasari Azhar) ataupun kasus pelaku di bawah tekanan atasan ( Suud Rusli ). Sehingga tidak semestinya Jaksa Agung tidak menggunakan alasan ini untuk menutupi atas ketidak beranian melakukan eksekusi mati bandar narkoba yang nyata-nyata berulah dengan tetap berbisnis narkoba dari dalam penjara," pungkas Boyamin.
Sebagaiaman diketahui, kasus terakhir yang mencuat adalah kasus Efandi Salam Ginting. Terpidana mati itu kembali mengimpor sabu dari Malaysia lewat jejaringnya.
Kepala BNN Sumut, Brigjen Pol Atrial mengatakan telah mengamankan tujuh orang tersangka. Masing-masing berperan sebagai kurir Efendi. Selain itu, juga menyita dua unit sepeda motor, 11 unit handphone, uang tunai Rp 2 juta, Rp 135 ribu, dua tas jinjing, dan satu unit sampan.
"Tersangka dijanjikan upah Rp 59 juta, jika narkoba tersebut sampai ke tempat tujuan," kata Atrial.
Saksikan juga video 'Jaksa Agung Geram Tak Bisa Eksekusi Mati Bandar Narkoba':
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini