Kasus dwelling time ini terjadi pada November 2016 lalu. Agusto ditangkap saat sedang meminta pungutan kepada importir.
Dari pengembangan pemeriksaan, Agusto kemudian menyebut nama Rahmat yang diduga ikut menikmati duit hasil pungli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak AKBP Takdir Mattanete kala itu, menyebut uang Rp 600 juta disita dari ruang kerja Rahmat.
"Totalnya Rp 10 miliar dari kasus ini yang saat ini diamankan tim satgas," kata AKBP Takdir pada 2 November 2016 lalu.
Kasus pun bergulis ke pengadilan. Masing-masing pihak diadili dalam berkas terpisah.
Agusto
Pada 16 Agustus 2017, jaksa menuntut Agusto selama 2 tahun penjara. Ia dinilai melakukan perbuatan pencucian uang.
Pada 6 Desember 2017, PN Surabaya membebaskan Agusto. Jaksa tidak terima dan mengajukan kasasi.
"Menolak permohonan kasasi jaksa," ujar majelis kasasi sebagaimana dilansir website MA, Kamis (21/3/2019).
Duduk sebagai ketua majelis hakim agung Prof Dr Surya Jaya dengan anggota hakim agung Margono dan hakim agung MD Pasaribu. Namun, Surya Jaya menilai Agusto layak dihukum.
"Penerapan tarif dan penagihan yang dilakukan oleh PT Akara Multi Karya adalah tidak sah, tidak berhak dan melanggar hukum. Tarif yang tidak sesuai dan melanggar prosedur penetapan tarif karena tidak mendapat persetujuan dari Menteri Perhubungan. Prinsip hukum, yang berhak dan berwenang menetapkan adalah badan usaha pelabuhan/PT Pelindi II. Sedangkan yang memungut uang bisa pihak ketiga sebagai mitra PT Pelindo III. Mengenai sharing fee, ditentukan PT Pelindo dengan mitra kerja," ujar Surya Jaya.
Namun suara Surya Jaya kalah suara dengan anggota majelis sehingga Agusto tetap divonis bebas.
Djarwo Surjanto-Meike Yolanda Faansisca
Keduanya merupakan pasangan suami istri. Djarwo merupakan bos PT Terminal Pertikemas Surabaya (TPS). Seperti PT AMK, PT TPS juga merupakan rekanan PT Pelindo III.
Pada 25 September 2017, jaksa menuntut Djarwo melakukan tindak pidana pemerasan secara berlanjut dan dituntut 3 tahun penjara. Adapun Yolanda melakukan tindak pidana pencucian uang dan dituntut 1 tahun penjara.
Pada 4 Desember 2017, PN Surabaya membebaskan Djarwo. Adapun Yolanda divonis lepas.
Jaksa kasasi. Tapi sama dengan Agusto, keduanya juga dibebaskan oleh majelis kasasi hakim agung Prof Dr Surya Jaya dengan anggota hakim agung Margono dan hakim agung MD Pasaribu. Namun, Surya Jaya menilai Djarwo-Yolanda layak dihukum.
"Perbuatan Terdaka selaku Direktur PT Terminal Petikemas Surabaya bertentangan dengan Permenhub Nomor 6 Tahun 2013, diuba dengan Permenhub Nomor 15 Tahun 2014, juncto Pasal 12e UU Tipikor, juncto Pasal 368 KUHP, Juncto Pasal 2 UU TPPU," ujar Surya.
Namun suara Surya Jaya kalah suara dengan anggota majelis sehingga Djarwo-Yolanda tetap divonis bebas.
Rahmat Satria
Rahmat dituntut oleh jaksa dengan pidana penjara 2 tahun. Namun pada 6 Desember 2017, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, membebaskan Rahmat dari segala dakwaan jaksa. Di tingkat kasasi pun putusan itu dikuatkan oleh MA.
Vonis kasasi itu diketok pada 6 November 2018 dengan nomor register 818 K/pid.sus/2018. Vonis diketok ketua majelis hakim agung Prof Dr Surya Jaya dibantu hakim agung Margono dan hakim agung Maruap Dohmatiga Pasaribu selaku hakim anggota.
Surya Jaya memilih berbeda pendapat dan menilai Rahmat bersalah. Tapi suaranya kalah dengan dua hakim anggota. Alhasil, Rahmat bebas.
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini