Saat itu Neneng sudah mengeluarkan izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) sebagai dasar untuk serangkaian perizinan proyek Meikarta. IPPT yang dikeluarkan Neneng itu untuk lahan seluas 84,6 hektare.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Urusan rekomendasi itu sempat berpolemik antara Pemkab Bekasi dan Pemprov Jabar hingga akhirnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) turun tangan. Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda), yang saat itu dijabat Sumarsono alias Soni, menjadi penengah.
"Pada saat itu saya di kantor Dirjen Otda, kita bicara perlu tidaknya rekomendasi (dari Gubernur Jabar), karena ini hal baru dan saya yakin ini pasti baru terjadi, dengan bukti Pak Aher baru memberikan rekomendasi kali ini setelah ada Meikarta," ucap Neneng saat memberikan tanggapan dari kursi terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Rabu (20/3/2019).
Neneng mengaku saat itu berdiskusi dengan Soni. Dia menyebut Soni menyampaikan kepadanya bahwa rekomendasi sebenarnya tidak diperlukan.
"Saat diskusi dengan Pak Soni, apakah perlu atau tidak (rekomendasi), saat itu, kalau tidak salah dijawab Pak Soni bahwa sebetulnya tidak perlu rekomendasi, tapi karena menghargai Pak Aher sebagai gubernur, jadi mesti ada rekomendasi," imbuh Neneng.
Mendengar jawaban Neneng, jaksa KPK langsung meneruskannya ke Soni, yang memang saat itu didudukkan sebagai saksi. Namun Soni sempat menepis ucapan Neneng.
"Katanya Saudara bilang tidak perlu rekomendasi, benar?" tanya jaksa pada Soni.
"Tidak demikian. Dalam diskusi membahas soal rekomendasi apakah diperlukan. Karena Ibu Neneng menjelaskan daerah lain dengan luas sama tidak perlu rekomendasi. Pertanyaannya, kenapa perlu? Jadi hanya diskusi," jawab Soni.
Majelis hakim memotong jawaban Soni. Menurut hakim, jawaban Soni tidak langsung pada substansi sehingga Soni diminta menjawab dengan lugas.
"Ini kan menurut terdakwa tidak perlu rekomendasi, apa benar begitu?" tanya hakim.
"Jawabannya benar," kata Soni.
"Ya kalau benar, ya, benar. Ya sudah," kata hakim.
Kemudian, Neneng kembali menjelaskan tentang polemik tersebut. Neneng merasa Aher belum paham tentang dasar rekomendasi yang dimintakan tersebut.
"Ini metropolitanlah, strategis kapan perlu rekomendasi atau tidak. Anggap perusahaan lain dia mohon 20 hektare, mohon 5 hektare apa dengan perda ini (Perda Nomor 12 tahun 2014) perlu rekomendasi gubernur? Makanya kita bingung, apakah semua pengusaha harus minta rekomendasi gubernur?" kata Neneng.
Aher--yang juga duduk sebagai saksi dalam sidang itu--kemudian angkat bicara. Dia mengaku berpedoman pada Perda Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jabar.
"Saya tidak pernah menjelaskan. Itu semata-mata tuntutan Perda (Nomor) 12 Tahun 2014," ucap Aher.
Pun Demiz memberikan penjelasan. Demiz juga hadir dalam sidang itu sebagai saksi bersama Aher dan Soni.
"Ini penjelasan sedikit untuk Bu Neneng. Itu skala metropolitan, Meikarta skala metropolitan. Kalau 5 hektare nggak perlu (rekomendasi). Sampai sekarang pun yang namanya KBU (kawasan Bandung Utara) ada perda baru. Rumah tinggal saya saja harus ada rekomendasi gubernur karena harus ada daerah resapan air," kata Demiz.
Dalam persidangan tersebut, duduk sebagai terdakwa, Neneng Hassanah Yasin sebagai Bupati Bekasi nonaktif. Selain Neneng, ada 4 terdakwa lain yang dulu sebagai anak buah Neneng di Pemkab Bekasi.
Mereka didakwa menerima suap dengan total Rp 10.830.000.000 dan SGD 90 ribu. Uang itu diduga diberikan oleh perwakilan Lippo, yaitu Billy Sindoro dan 3 rekannya, yang telah divonis bersalah dalam perkara yang sama.
Tonton juga video Aher dan Deddy Mizwar Jadi Saksi Sidang Suap Meikarta:
(dir/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini