Salah satunya di Pantai Petitenget, Kerobokan, Kuta Utara, Badung, Bali. Mengawali upacara Melasti, para umat Hindu bersembahyang di pura desa lalu memulai arak-arakan pratima.
Pratima itu diletakkan di tandu yang dihias dan diberi banten. Selama perjalanan menuju pantai, pratima itu juga diiringi musik dari baleganjur (ensemble gamelan Bali).
Pantuan di lokasi, Senin (4/3/2019), kemacetan mulai terlihat dari Lapas Kerobokan hingga sepanjang perjalanan menuju Pantai Petitenget. Para umat Hindu terlihat mengenakan busana adat dengan atasan putih dan memakai kamen (kain).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Uniknya, sepanjang perjalanan menuju pantaj ada minuman-minuman yang disediakan pemilik restoran ataupun hotel di tepi jalan. Minuman itu memang disediakan gratis bagi para umat yang menempuh perjalanan sekitar 5-10 km dengan jalan kaki itu.
Tiba di Pantai Petitenget, rombongan dari tiap banjar itu berhenti sejenak di depan Pura Masceti Petitenget. Di depan pura ini rombongan beserta tandu tersebut diperciki air oleh sulinggih.
Tiba di depan pura, beberapa peserta terlihat mulai berteriak histeris, hingga menangis. Rupanya, para peserta tersebut kerauhan (kerasukan). Para peserta yang kerauhan ini lalu dipegang oleh sejumlah warga dan mulai tenang setelah diperciki air oleh sulinggih.
Rombongan lalu mengarah ke pantai. Saat di pantai ini ada yang kembali bersembahyang dan memerciki kepalanya dengan air laut. Ada pula yang terlihat membawa dua bilah keris menghadap ke pantai, lalu mulai menusuk-nusukkan keris itu ke tubuhnya, sementara sebagian lainnya khusyuk bersembahyang. Sebagian umat yang sudah selesai upacara juga terlihat beristirahat di tepi pantai sebelum kembali pulang ke banjarnya masing-masing.
Salah satu Klian Adat Banjar Anyar Kelod Kerobokan, Made Sudita menjelaskan upacara Melasti merupakan momen menyucikan bathara (dewa) ke segara (laut). Perlengkapan upacara seperti banten, canang merupakan syarat wajib untuk menyucikan arca atau patung yang ada di pura desa.
"Sebagai lambang penyucian bagi umat Hindhu sebelum Nyepi, " kata Sudita.
Soal warga yang kerauhan, dia menyebut itu sebagai perlambang dewa atau leluhur hadir di lokasi tersebut. "Tadi ada yang kerauhan simbol (leluhur yang hadir) sudah dibawa kesini, " jelasnya. (ams/asp)