Seperti yang terlihat di lapangan Wani, Kabupaten Donggala, Selasa, tenda-tenda yang dibangun oleh berbagai pihak, termasuk bantuan dari Unicef dan Aksi Tanggap Cepat (ATC) relawan peduli bencana alam di Sulteng, sudah banyak yang kosong.
Mafud, seorang pengungsi, mengatakan selama empat bulan sejak terjadinya gempa dan tsunami pada 28 September 2018, ia tinggal di tenda bantuan lembaga kemanusiaan tersebut. Namun, kata dia, menjelang masa transisi darurat berakhir, kebanyakan pengungsi di Desa Wani sudah pindah ke tempat huntara yang lokasinya juga di wilayah itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tentu sangat senang karena bisa menempati huntara," kata Mafud saat ditemui wartawan di Donggala, yang dikutip dari Antara, Selasa (19/2/2019).
Hal senada disampaikan Yusuf, yang membenarkan sejak tiga hari ini sudah tidak lagi tinggal di tenda pengungsian. Ia bersama istri dan anak-anaknya kini telah menempati huntara. Selama di lokasi pengungsian, meski hanya tinggal di tenda, soal makan dan minum cukup memadai.
Bantuan dari berbagai pihak selam berada di pengungsian saban hari mengalir sehingga para pengungsi tidak mengalami kekurangan makanan. Meski sudah pindah ke huntara, mereka berharap bisa mendapatkan hunian tetap (huntap) karena rumah dan usaha mereka habis diterjang gempa yang diikuti tsunami.
Desa Wani, wilayah terparah yang diterjang gempa dan tsunami di Kabupaten Donggala, terletak di dekat pantai. Jumlah pengungsi korban gempa dan tsunami di Kabupaten Donggala mencapai 36.343 jiwa. Jumlah itu tersebar dari berbagai desa dalam sejumlah kecamatan di daerah itu. (rvk/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini