"Meskipun frasa 'organisasi radikal' yang dimaksud adalah organisasi radikal yang bersikap keras menentang penjajahan Belanda, dalam konteks ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sangat menyayangkan diksi 'organisasi radikal' yang digunakan oleh Kemendikbud dalam buku tersebut. Istilah tersebut bisa menimbulkan kesalahpahaman oleh peserta didik di sekolah terhadap Nahdlatul Ulama," kata Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini dalam keterangan tertulis, Rabu (6/2/2019).
Helmy menjelaskan frasa 'radikal' yang ditulis di buku tersebut bisa menyebabkan kesalahpahaman. Pasalnya, menurut Helmy, selama ini masyarakat mengenal istilah radikal itu sebagai tindakan yang negatif dan kerap menyebarkan teror.
Sementara itu, radikal dalam pengertian sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan) dan maju dalam berpikir atau bertindak.
"Organisasi radikal belakangan identik dengan organisasi yang melawan dan merongrong pemerintah, melakukan tindakan-tindakan radikal, menyebarkan teror dan lain sebagainya. Pemahaman seperti ini akan berbahaya, terutama jika diajarkan kepada siswa-siswi," ujarnya.
Helmy menilai Kemendikbud tidak teliti dalam memahami sejarah pergerakan nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dia menegaskan istilah radikal tidak relevan untuk menyebutkan tentang fase pergerakan nasional.
"Penulis buku menyebut, setelah mengalami fase pergerakan nasional pada 1900-an, kemudian dilanjutkan dengan fase masa awal radikal yang terjadi pada tahun 1920-1926. Istilah masa awal radikal ini yang keliru dan tidak tepat. Jika ingin menggambarkan perjuangan kala itu, yang lebih tepat frasa yang digunakan adalah masa patriotisme, yakni masa-masa menentang dan melawan penjajah," ujarnya.
Dia pun meminta Kemendikbud turun tangan menyelesaikan permasalahan tersebut. Dia tidak ingin masalah tersebut melebar.
"Oleh karena itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meminta kepada Kemendikbud bertanggung jawab atas persoalan ini. Potensi mudarat yang ditimbulkan sangat besar sehingga harus diambil langkah cepat untuk menyikapinya," ujar Helmy.
detikcom juga sudah mencoba menghubungi pihak Kemendikbud untuk meminta klarifikasi mengenai informasi tersebut, tapi belum mendapatkan respons. (knv/fjp)