Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, menyoroti unsur-unsur alat bukti yang sah seperti diterangkan dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sedangkan dalam gratifikasi seks, Bivitri menilai penyidik akan sedikit kesulitan mendapatkan alat bukti yang sah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian ada bukti-bukti yang mendukung, challenging-nya di situ, bukti lain yang mendukung itu susah. Itu kan ilegal ya (gratifikasi seks). Pasti tidak ada kuitansi atau apa," imbuh Bivitri.
Bivitri menyebut kemungkinan ada bukti lain yang bisa dicari, seperti komunikasi. Namun keterkaitan dengan pasal-pasal yang mengatur gratifikasi juga harus dibuktikan karena hal ini malah bisa menyerempet soal prostitusi.
Sementara itu, pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Ganjar Laksmana menyoroti bentuk gratifikasi seks yang berupa jasa sehingga sulit dilakukan penyitaan. Namun pemberi layanan seks yang diduga sebagai gratifikasi itu, disebut Ganjar, bisa menjadi bukti bila ada pengakuan.
"Kan bisa terjadi si perempuan nggak tahu urusannya apa, yang penting dibayar, disuruh melayani, berarti dia nggak ada kaitan dengan korupsinya. Tinggal penyuap dan penerima dibuktikan bahwa pemberi memberikan layanan seks melalui perempuan yang dibayar atau mungkin juga dirinya sendiri penyuap menyerahkan dirinya, misal penyuapnya perempuan atau lelaki. Ya begitulah. Bisa terjadi, kan," kata Ganjar.
Persoalan gratifikasi seks ini awalnya disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Dia menilai gratifikasi seks seharusnya bisa dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Mestinya itu bisa dijerat sebagai gratifikasi, apalagi kalau dalam pemberian itu ada sesuatu yang diberikan oleh penerima gratifikasi itu, misalnya dengan menyalahgunakan wewenang, pemberian izin, dan seterusnya," kata Alexander pada Rabu (30/1). (dhn/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini