"Sejauh ini kami melihat hanya momen formalitas, bahkan pada level terburuk ini hanya upaya untuk mendapatkan atau mendulang suara. Tidak jadi isu yang meyakinkan publik," kata Koordinator Kontras Yati Andriyani di kantornya, Jalan Kramat 2 Nomor 7, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (11/1/2019).
Dia menilai KPU cenderung akomodatif dan kompromistis terhadap kedua pasangan capres-cawapres. Kontras tidak setuju bila KPU terlalu protektif terhadap kedua pasangan karena hal tersebut mengurangi esensi debat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kontras tidak setuju dengan pernyataan KPU yang mengatakan tidak ingin mempermalukan para peserta debat. Begitu juga dengan diberikannya kisi-kisi atau bocoran pertanyaan kepada para peserta.
"Buat kami, hal ini akan berdampak pada orisinalitas gagasan, pandangan, kualitas perdebatan yang ada, karena jawabannya sudah disiapkan," ucap Yati.
Debat seharusnya dijadikan ajang menguji rekam jejak, gagasan, dan komitmen kedua pasangan capres-cawapres. Semestinya debat juga jadi momen untuk mengupas rekam jejak kedua pasangan. Yati mengaku tidak melihat hal tersebut dalam format debat ini.
"Yang kami lihat justru ada kecenderungan debat ini saling menutupi kelemahan, kekurangan, atau masalah dari kedua kandidat. Sekali lagi ada pernyataan agar ada yang tidak dipermalukan. Ini justru momen yang tepat untuk mengupas rekam jejak kedua pasangan ini, dari kedua kubu ini. Sekaligus untuk menguji komitmennya," bebernya.
Dalam kesempatan ini, Kontras juga meluncurkan laporan empat tahun soal penanganan HAM pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Yati mengatakan Jokowi-JK gagal dalam upaya menyelesaikan atau memenuhi agenda HAM.
"Yang kedua, yang penting juga dan menjadi concern menarik perhatian publik juga selama selama 4 tahun kepemimpinan Jokowi itu adalah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini menjadi salah satu indikator kegagalan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk menyelesaikan atau memenuhi agenda hak asasi manusia," ujar Yati.
Dia melihat ada penurunan pemenuhan hak-hak sipil politik. Namun, kata Yati, presiden sebelum Jokowi pun kerap menjauh dari isu ini. Kontras ingin kedua capres bisa menjawab masalah ini.
"Ada penurunan dalam pemenuhan hak-hal sipil politik khususnya untuk isu-isu yang dianggap secara politik itu tidak strategis atau secara politik itu akan membahayakan. Itu memang sering kali dihindari oleh siapa pun penguasanya, ya termasuk penguasa saat ini," tuturnya.
"Apa saja? Misalkan berkaitan dengan isu-isu perlindungan kelompok minoritas, kebebasan berkeyakinan, beragama, beribadah sampai hari ini, siapa pun presidennya tetap menjadi masalah. Kami berharap ini bisa dijelaskan secara baik, runut, dan jelas, agenda-agenda pemenuhan isu-isu ini," ungkapnya.
Hal lain yang disampaikan Kontras ialah agar Indonesia mempertimbangkan hukuman mati. Sebab, negara lain, seperti Malaysia, sudah mulai meninjau kebijakan ini. Terakhir Yati menyorot pengadilan HAM yang belum berjalan meski sudah dibentuk sejak 20 tahun lalu.
"Kemudian juga yang terkait implementasi pengadilan HAM, kita sudah punya pengadilan HAM tahun 2000, disahkan melalui Undang-Undang No 6 Tahun 2000. Tetapi sampai 20 tahun Reformasi, pengadilan HAM ini kita bisa bilang gagal sama sekali untuk bisa mengakomodasi atau bisa menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Ini juga menjadi tantangan yang dijawab dikupas dan seterusnya," beber dia. (jbr/iy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini