Kasus ini bermula ketika Pak Edi dimintai tolong untuk memberikan pertimbangan teknis oleh korban pada 2017. Ia menerima Rp 232,2 juta.
Seharusnya, Pak Edi menggunakan uang tersebut untuk melakukan pengurusan proses pembayaran pajak PBB, PPH, dan BPHTB atas nama pemohon. Namun, pada kenyataannya, ia tidak menyetorkan seluruhnya dan malah dia gunakan untuk kepentingan pribadi.
Alhasil, Pak Edi harus berhadapan dengan aparat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Majelis hakim menyatakan Pak Edi terbukti melakukan korupsi dan mengakibatkan kerugian negara, dalam hal ini Pemkab Tabanan, senilai Rp 138.953.329. Dengan rincian pajak BPHTB yang tidak disetorkan sebesar Rp 109.572.000 dan PBB-2 yang tidak disetorkan sebesar Rp 29.381.329.
"Menimbang biaya PBB-P2 dan BPHTB yang tidak dibayarkan terdakwa, sisanya digunakan untuk kepentingan pribadinya," ucap Sukereni.
Dari fakta persidangan juga diketahui biaya tersebut digunakan terdakwa untuk membayar biaya operasi kelahiran menantunya sebesar Rp 10 juta, dan membiayai upacara tiga bulanan cucu terdakwa sebesar Rp 57 juta.
Sebagian uang tersebut juga digunakan untuk membayar utang pernikahan anak terdakwa sebesar Rp 50 juta serta membayar utang di bank.
Baca juga: KPK Buka Seleksi Sekjen Gelombang Kedua |
Selain menjatuhkan pidana penjara, majelis hakim memberi hukuman denda Rp 100 juta kepada terdakwa. Dengan ketentuan, jika tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara 6 bulan.
Terdakwa, yang duduk di kursi pesakitan, menyimak serius amar putusan yang dibacakan hakim. Setelah berkonsultasi dengan kuasa hukumnya, Pak Edi mengaku setuju dan menerima hukuman tersebut.
"Terima kasih Yang Mulia, saya menerima," ucap Pak Edi sambil mengangguk. (ams/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini