Di antaranya Andro Supriyanto dan Nurdin Prianto. Pengamen Cipulir itu dipenjara tanpa dosa. Keduanya dituduh membunuh Dicky pada Juni 2013.
Polisi kemudian menetapkan 6 tersangka. Andro dan Nurdin ditahan dengan tuduhan membunuh Dicky. Andro dan Nurdin mengalami penyiksaan secara fisik dan mental di ruang tahanan dengan cara dipukul dan disetrum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas hal itu, mereka lalu meminta ganti rugi ke polisi. Setelah berjuang bertahun-tahun penuh liku, akhirnya gemerincing uang mereka terima sebanyak Rp 71 juta pada 13 November 2018.
"Bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH Jakarta terhadap Andro dan Nurdin sebagai korban salah tangkap tidak fokus untuk mengejar ganti rugi, tapi juga untuk melakukan perubahan struktural agar korban-korban selanjutnya tidak ada. Setidaknya, jika masih ada, harus segera mendapatkan pemulihan," kata pengacara publik dari LBH Jakarta, Shaleh Al Ghifari.
Untuk menembus masalah-masalah struktural dalam pencairan dana ganti rugi tersebut, LBH Jakarta telah menempuh berbagai langkah. Salah satunya mengajukan permohonan sengketa nonlitigasi ke Kemenkumham.
Selain itu, sebelumnya LBH Jakarta telah mengadukan keterlambatan pembayaran oleh Kementerian Keuangan ini ke Ombudsman RI serta mengadukan Kemenkeu ke RDPU dengan Komisi III DPR. Lebih dari itu, LBH Jakarta mendorong kepolisian dan kejaksaan serius dan hati-hati dalam menangani sebuah perkara.
"Jangan sampai salah tangkap orang terus berulang. LBH Jakarta setiap tahun menangani kasus salah tangkap, terhitung ini membuktikan kepolisian dan kejaksaan selama ini belum berubah," ujar Al Ghifari.
Shaleh Al Ghifari mengungkapkan, LBH Jakarta tetap mendesak Kemenkeu untuk segera menerbitkan PMK Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian Korban Salah Tangkap.
"Seharusnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, tidak berbelit dan berkelit dalam mencairkan dana ganti rugi korban salah tangkap," tandasnya. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini