"Kita belum bisa kaitkan tsunami yang terjadi kemarin akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau," ujar Wawan saat konferensi pers di Gedung PVMBG, Kota Bandung, Minggu (23/12/2018).
Menurut Wawan, perlu energi besar untuk bisa menciptakan gelombang atau tsunami seperti kemarin malam. Sementara letusan Anak Krakatau disebutnya masih dalam skala kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wawan mengatakan ada dugaan gelombang diakibatkan oleh longsoran tubuh dari Anak Krakatau. Namun untuk membuktikannya perlu dilakukan pengecekan langsung ke lokasi apakah ada perubahan dari fisik gunung yang berada di Selat Sunda itu.
"Sampai saat ini tim atau pun masyarakat di sana belum melihat ada letusan besar dari Anak Krakatau," ucapnya.
Letusan Anak Krakatau, kata Wawan, sudah terjadi sejak 2016 hingga 2018, tepatnya 29 Juni lalu. Letusan pada 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor, peningkatan jumlah gempa hembusan dan low frequency pada 18-19 Juni.
"Jumlah gempa hembusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 Anak Krakatau meletus," katanya.
Sementara pada 22 Desember, masih terjadi letusan yang bersifat low frequency. "Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap sekitar 300-1.500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm)," beber Wawan.
Dengan melihat data dan fakta tersebut, pihaknya belum bisa memastikan jika tsunami yang terjadi pada malam kemarin diakibatkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau.
"Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu, perlu ada runtuhan besar yang masuk ke dalam laut. Untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeteksi oleh seismograf di pos pengamatan gunung api. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunung api dan tsunami," ujar Wawan.
Saksikan juga video 'Tsunami Banten, Ini Penjelasan BMKG':
(tro/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini